Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, dilaporkan akan mengakhiri masa jabatannya. Langkah ini diambil demi mencegah perpecahan internal di partai penguasa, demikian laporan media lokal pada Minggu (7 September 2025).
Keputusan Ishiba ini sontak menciptakan gejolak politik baru di negara dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia.
Meskipun belum ada pengumuman resmi, pemerintah mengindikasikan Ishiba akan menyampaikan keterangan pers pada pukul 18.00 waktu setempat.
Sejak menjabat pada September 2024, koalisi pimpinan Ishiba kehilangan dukungan mayoritas dalam pemilihan umum akibat kekecewaan publik terhadap naiknya biaya hidup.
Ishiba sebelumnya menolak desakan dari internal Partai Demokrat Liberal untuk mengundurkan diri dan bertanggung jawab atas kekalahan dalam pemilihan majelis tinggi pada bulan Juli.
Kekhawatiran atas instabilitas politik ini memicu aksi jual mata uang Yen dan obligasi pemerintah Jepang pekan lalu hingga mencapai titik tertinggi.
Spekulasi mengenai masa depan Ishiba menguat seiring rencana partainya menggelar pemungutan suara pada Senin untuk menentukan apakah akan diadakan pemilihan kepemimpinan luar biasa.
Situasi politik ini dipastikan akan memperberat beban ekonomi Jepang yang tengah berjuang akibat dampak tarif dari Amerika Serikat.
Saat ini, perhatian pasar tertuju pada potensi pengganti Ishiba, yang diharapkan merupakan pendukung kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar, seperti Sanae Takaichi, yang secara terbuka mengkritik kebijakan kenaikan suku bunga Bank of Japan.
Jika Ishiba mengundurkan diri, tindakan terakhirnya sebagai perdana menteri kemungkinan adalah merampungkan detail kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat yang dicapai pekan lalu. Dalam kesepakatan itu, Jepang menjanjikan investasi sebesar US$550 miliar sebagai imbalan atas penurunan tarif yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap sektor otomotif Jepang.