Perdana Menteri Prancis, Francois Bayrou, secara resmi mengakhiri masa jabatannya setelah gagal melewati mosi tidak percaya di parlemen pada Senin (8/9). Penolakan terhadap Bayrou mencapai 364 suara, jauh melampaui ambang batas 280 suara yang diperlukan untuk menjatuhkannya, sementara hanya 194 anggota parlemen yang memberikan dukungan.
Sebelum pemungutan suara, Bayrou memperingatkan bahwa meskipun parlemen memiliki kekuatan untuk menggulingkan pemerintahannya, mereka tidak dapat mengubah realitas ekonomi yang dihadapi Prancis. Ia menekankan bahwa pengeluaran akan terus meningkat, dan beban utang yang sudah berat akan semakin membebani negara.
Kepergian Bayrou memperdalam krisis politik yang melanda Prancis, terutama di tengah tekanan ekonomi yang meningkat dan ketegangan geopolitik global. Kekacauan di pemerintahan Presiden Emmanuel Macron ini bermula sejak Juni 2024, ketika partainya mengalami kekalahan signifikan dalam pemilihan parlemen. Hasil pemilu tersebut menciptakan parlemen yang terpecah dan tidak seimbang, sehingga menyulitkan setiap perdana menteri untuk memperoleh dukungan yang cukup untuk meloloskan undang-undang dan anggaran tahunan.
Sebelum Bayrou, Michael Barnier juga mengalami nasib serupa dengan mengundurkan diri setelah tiga bulan menjabat. Beberapa partai politik, termasuk dari kubu kanan dan kiri, mendesak untuk diadakannya pemilihan presiden lebih awal. Namun, Macron bersikeras untuk tetap menjabat hingga masa jabatannya berakhir pada 2027.
Bayrou sempat berusaha mendorong rencana penghematan senilai €44 miliar, termasuk penghapusan dua hari libur nasional dan pembekuan anggaran pemerintah. Setelah menjabat selama sembilan bulan, Bayrou mengundurkan diri, mengikuti jejak pendahulunya, Michael Barnier, yang juga lengser karena kalah dalam mosi tidak percaya.
Pada hari Selasa (9/9), Bayrou akan menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada Presiden Macron. Dalam beberapa hari mendatang, Macron diharapkan akan menunjuk perdana menteri baru.
Para ahli politik berpendapat bahwa Macron memiliki pilihan terbatas dalam memilih pengganti Bayrou. Salah satu opsi yang mungkin adalah memilih kandidat dari jajaran sosialis kiri-tengah. Namun, kandidat tersebut tetap harus membangun aliansi dengan blok liberal presiden, yang menentang banyak gagasan dari kubu kiri, termasuk menaikkan pajak bagi orang kaya.
Prancis telah terperosok ke dalam krisis politik sejak Macron menggelar pemilihan umum dadakan pada tahun 2024. Hasil pemilu tersebut menciptakan keseimbangan kekuatan di parlemen, tanpa ada kubu mayoritas yang jelas. Aliansi yang dipimpin oleh partai Macron telah mengalami kemerosotan sejak 2022, sementara partai sayap kanan ekstrem, Partai Nasional, muncul sebagai partai terbesar.