Perombakan kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto pada awal September 2025 menarik perhatian dunia internasional. Salah satunya, media Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), turut memberikan sorotan dalam artikelnya yang menyoroti potensi reshuffle dalam meredam amarah publik.
SCMP menyoroti keluarnya sejumlah nama besar dari kabinet, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Budi Gunawan. Selain itu, media tersebut menyoroti pembentukan Kementerian Haji dan Umrah yang berdiri sendiri. Beberapa menteri lain seperti Menteri Pemuda dan Olahraga, Menteri Koperasi, dan Menteri Perlindungan Pekerja Migran juga turut diberhentikan.
Perombakan ini terjadi setelah gelombang demonstrasi besar di berbagai daerah yang dipicu oleh kemarahan publik terkait tunjangan perumahan yang fantastis bagi anggota parlemen. Aksi unjuk rasa yang awalnya dipimpin mahasiswa, meluas dengan cepat dan mencerminkan kekecewaan yang lebih luas terhadap ketimpangan ekonomi dan kenaikan biaya hidup. Situasi memanas setelah seorang pengemudi ojek tewas dalam bentrokan dengan polisi saat demonstrasi di Jakarta, memicu aksi lanjutan dan tindakan tegas dari aparat.
SCMP juga menyoroti pesan politik yang tersirat dalam reshuffle ini. Empat dari lima menteri yang dicopot merupakan figur dari era pemerintahan Joko Widodo. Menurut peneliti politik dari CSIS Indonesia, Prabowo disebut sedang memperkuat barisannya dengan menempatkan loyalis yang mampu menjalankan program-programnya.
Tak hanya itu, penunjukan Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, juga menjadi sorotan karena komentarnya yang kontroversial tak lama setelah dilantik. Purbaya menyebut demonstrasi yang terjadi hanya mewakili sebagian kecil masyarakat dan optimistis dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Ia berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mengalihkan perhatian masyarakat dari protes.
Pernyataan Purbaya kemudian menuai kritik dan ia pun meminta maaf atas gaya bicaranya. Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Gumilang Sahadewo, meragukan target pertumbuhan ekonomi 8% dapat tercapai dalam waktu dekat. Ia menekankan pentingnya perbaikan fondasi ekonomi seperti kualitas sumber daya manusia, tata kelola kelembagaan, dan efisiensi alokasi sumber daya dalam kebijakan formal.