Jakarta – Serangan Israel ke markas Hamas di Qatar memicu spekulasi mengenai hubungan yang retak antara Doha dan Washington. Qatar merasa dikhianati oleh Amerika Serikat, terutama setelah investasi besar-besaran yang telah mereka lakukan di AS.
Para analis menyoroti bahwa Qatar merasa tidak terlindungi, meskipun telah menginvestasikan miliaran dolar ke Amerika Serikat. Kekecewaan ini muncul setelah kunjungan kenegaraan Presiden Donald Trump ke Qatar pada bulan Mei lalu, di mana sejumlah kesepakatan besar ditandatangani.
Salah satu kesepakatan yang paling mencolok adalah pembelian ratusan pesawat Boeing oleh Qatar Airways. Maskapai penerbangan nasional Qatar tersebut sepakat untuk membeli 210 pesawat Boeing 787 Dreamliner dan 777X yang menggunakan mesin GE Aerospace. Nilai kesepakatan ini mencapai US$96 miliar (sekitar Rp1.581 triliun).
Selain itu, Qatar juga sepakat untuk mengakuisisi kemampuan "anti-drone" dari perusahaan pertahanan AS, Raytheon, senilai US$1 miliar (sekitar Rp16,4 triliun). Doha juga berencana membeli drone MQ-9B dari General Atomics, sebuah drone canggih dengan daya tahan dan jangkauan yang luar biasa, dalam kesepakatan senilai US$2 miliar (sekitar Rp33 triliun).
Momen kontroversial lainnya adalah pemberian pesawat Boeing 747-8 dari Doha kepada Trump. Trump sempat mengindikasikan bahwa pesawat mewah tersebut akan dijadikan pesawat kepresidenan AS atau Air Force One.
Namun, penerimaan hadiah semacam itu menimbulkan kekhawatiran hukum dan etika di kalangan masyarakat AS. Potensi masalah keamanan juga menjadi perhatian, mengingat pesawat tersebut akan digunakan sebagai kendaraan khusus seorang Presiden. Konstitusi AS melarang pejabat pemerintah menerima hadiah "dari Raja, Pangeran, atau negara asing mana pun."
Kontroversi seputar pesawat dari Qatar tersebut turut menyeret nama Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani. Pemimpin Qatar itu diduga berusaha ‘menyuap’ pemerintah AS melalui pemberian pesawat tersebut.