Sesi siang ini, Kamis (11/9/2025), sektor finansial menjadi penopang utama pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Tiga saham bank dengan kapitalisasi besar mengalami kenaikan signifikan.
Saham BNI (BBNI) mencatat kenaikan tertinggi sebesar 6,1% ke level Rp4.350. Diikuti oleh BRI (BBRI) yang naik 5,15% menjadi Rp4.080, dan Bank Mandiri (BMRI) yang menguat 2,73% ke Rp4.520.
Berbeda dengan ketiga rekannya, pergerakan saham BCA (BBCA) tidak terlalu mencolok. Hingga akhir sesi pertama, BBCA hanya naik tipis 0,64% ke level Rp7.850.
BBCA sempat menyentuh angka Rp7.975 di awal perdagangan, naik 2,24%, namun penguatan tersebut tidak bertahan lama.
Sebelumnya, beberapa analis menyoroti fundamental BBCA. Rasio kredit bermasalah (NPL) BCA per Juni 2025 tercatat 2,2%, meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal ini menyebabkan BCA meningkatkan beban provisi secara signifikan, dengan proyeksi Cost of Credit (CoC) dinaikkan menjadi 0,3%-0,5%. Per Juli 2025, beban provisi bank-only BCA naik 65% year on year menjadi Rp1,9 triliun.
Selain itu, pertumbuhan laba BCA pada semester pertama tahun ini tercatat hanya 8% year on year, melambat dibandingkan periode sebelumnya. Laba bersih BCA pada paruh pertama tahun ini mencapai Rp29 triliun. Secara kuartalan, pertumbuhan laba BBCA terus melambat dalam empat kuartal terakhir, mendekati level terendah pada kuartal akhir 2023.
Hingga 10 September 2025, BBCA menjadi saham dengan net foreign sell terbesar, mencapai Rp26,74 triliun dari total net sell asing sebesar Rp61,57 triliun.
Analis menilai bahwa tekanan jual pada saham BBCA lebih disebabkan oleh faktor eksternal, seperti arus keluar dana asing akibat ketidakpastian makro, pelemahan rupiah, atau kondisi global yang risk-off. Sebagai bank dengan kapitalisasi pasar terbesar, BBCA seringkali berperan sebagai proksi indeks sehingga ikut terdampak secara mekanis ketika terjadi arus keluar dana asing.