Industri baja nasional tengah menghadapi tekanan berat akibat derasnya impor produk baja ke Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan adanya pabrik baja di Surabaya yang sudah gulung tikar. Bahkan, ada indikasi pabrik lain di Bekasi juga akan menyusul.
Kondisi ini memicu kritik terhadap investasi asing langsung (FDI) yang dianggap kurang memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal. Berbeda dengan masa lalu, investasi saat ini dinilai kurang melibatkan pengusaha lokal dalam proses pembuatan pabrik. Alhasil, keberadaan investasi hanya menjadi tontonan tanpa memberikan manfaat signifikan bagi lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Kekhawatiran semakin memuncak karena nasib industri baja berpotensi mengikuti jejak industri tekstil yang telah banyak mengalami kebangkrutan. Padahal, kedua industri ini memiliki kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia, mulai dari sektor pendukung seperti kontrakan, warung makan, hingga pabrik kawat las dan gerinda.
Dampak negatifnya juga merambah ke sektor pendidikan dan pelatihan, seperti Badan Latihan Kerja (BLK) dan sekolah STM jurusan pengelasan. Keberadaan lembaga-lembaga ini menjadi sia-sia jika konstruksi baja impor terus membanjiri pasar domestik.
Pemerintah didesak untuk segera turun tangan mengatasi permasalahan ini sebelum industri baja mengalami nasib serupa dengan industri tekstil. Efek domino yang ditimbulkan akan sangat merugikan perekonomian nasional secara keseluruhan.