Sejumlah kebijakan ekonomi Indonesia belakangan menjadi sorotan Amerika Serikat (AS). Kekhawatiran ini mencuat di tengah isu potensi kenaikan tarif impor hingga 47%.
Isu ini semakin ramai diperbincangkan seiring dengan kemandirian sistem pembayaran di negara-negara ASEAN yang tidak lagi bergantung pada AS. Sistem pembayaran seperti GPN dan QRIS, yang kini diadopsi oleh banyak negara ASEAN dalam bentuk ASEAN Pay, dinilai mengancam kepentingan ekonomi AS.
Kebijakan-kebijakan Indonesia yang disorot AS antara lain adalah Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), QRIS, dan sertifikasi halal. Kebijakan-kebijakan ini dianggap sebagai hambatan perdagangan oleh AS, seperti yang tertuang dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025.
Mengapa Sertifikasi Halal Jadi Ganjalan?
AS menyoroti proses sertifikasi halal yang mengharuskan produk impor melewati Majelis Ulama Indonesia (MUI). Proses ini dianggap tidak transparan dan memberatkan eksportir AS. Selain itu, AS juga mengeluhkan kesulitan dalam memenuhi persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk memperoleh sertifikasi halal.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, berpendapat bahwa kebijakan halal adalah hal yang wajar untuk melindungi konsumen Muslim di Indonesia. Ia menegaskan bahwa Indonesia berhak mengatur kebijakan dalam negeri demi melindungi masyarakatnya.
Sistem Keuangan Indonesia Dinilai Hambat AS
Laporan USTR menyoroti beberapa kebijakan sistem keuangan Indonesia yang dianggap menghambat perusahaan jasa pembayaran dan bank asal AS.
Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 19/10/PADG/2017 mewajibkan perusahaan asing yang ingin mengelola pembayaran dalam negeri untuk bermitra dengan perusahaan lokal yang berlisensi BI dan memproses transaksi melalui GPN. Selain itu, BI juga mewajibkan penggunaan kartu kredit pemerintah melalui GPN. Kebijakan ini dikhawatirkan membatasi akses opsi pembayaran elektronik AS.
Sistem pembayaran QRIS juga menjadi sorotan karena proses penyusunannya dinilai tidak melibatkan kepentingan asing.
USTR juga menyoroti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/03/2016 yang membatasi kepemilikan bank oleh pemegang saham asing hingga maksimal 40%. OJK juga membatasi kepemilikan asing pada perusahaan pelaporan kredit swasta hingga 49% dan perusahaan pembayaran hingga 20%.
Langkah Indonesia Mengatasi Keberatan AS
Pemerintah Indonesia sedang berupaya melakukan negosiasi dengan AS untuk mencapai kesepakatan bersama. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menjelaskan bahwa diskusi ini akan berlangsung selama 60 hari.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menyerah dan akan terus bernegosiasi. Ia meyakini bahwa Indonesia memiliki kemampuan untuk menggerakkan ekonomi dengan kekuatan sendiri dan tidak perlu mengemis belas kasihan dari pihak lain. Prabowo menegaskan Indonesia akan bertahan dan berdiri di atas kaki sendiri.