Dana Rp200 Triliun di Bank Himbara: Pengawasan Ketat Jadi Kunci

Penyaluran dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke Bank Himbara menjadi sorotan utama. Pengawasan yang ketat menjadi krusial untuk menghindari potensi penyimpangan dan memastikan efektivitas dana dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ahli kebijakan publik menekankan bahwa tanpa tata kelola yang solid, dana sebesar ini berisiko memicu konflik kepentingan dan moral hazard. Kegagalan tata kelola dapat berbalik merugikan daya beli masyarakat jika kredit hanya mengalir ke proyek-proyek besar tanpa menciptakan lapangan kerja yang signifikan, atau bahkan terjerumus dalam praktik korupsi.

Berkaca pada kasus Jiwasraya dan Asabri, pentingnya pengawasan yang kuat pada lembaga keuangan negara tidak bisa diabaikan. Secara teori, suntikan dana ini berpotensi membuka lapangan kerja, terutama jika disalurkan ke sektor industri padat karya. Namun, tantangannya adalah akses perbankan bagi industri padat karya yang masih terbatas.

Kekhawatiran muncul bahwa dana ini justru digunakan untuk menutupi kebutuhan likuiditas jangka pendek Bank BUMN atau disalurkan ke kredit konsumtif seperti KPR dan kendaraan. Jika hal ini terjadi, dampaknya pada penciptaan lapangan kerja akan minim, bahkan berpotensi memicu inflasi dan memperburuk daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.

Selama ini, Bank BUMN cenderung menyalurkan kredit ke BUMN besar atau proyek pemerintah yang dianggap lebih aman. Penyaluran ke UMKM masih belum optimal dan jauh dari target OJK. Tanpa langkah luar biasa, potensi dana ini untuk mengurangi pengangguran secara signifikan dinilai kecil.

Oleh karena itu, pengawasan ekstra ketat dari OJK, BPK, dan KPK menjadi sangat penting. Selain itu, sinkronisasi kebijakan dengan otoritas moneter juga krusial untuk memastikan dana tersebut tepat sasaran dan tidak menimbulkan distorsi dalam perekonomian. Pengawasan yang kuat dan koordinasi kebijakan yang baik menjadi kunci keberhasilan penyaluran dana ini.

Scroll to Top