Bali Diterjang Banjir: Peringatan Keras Perubahan Iklim dan Tata Ruang Pulau Dewata

Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Bali awal September 2025 lalu menjadi tamparan keras bagi citra pulau dewata sebagai surga wisata dunia. Hujan ekstrim tak hanya menghancurkan infrastruktur dan rumah warga, tetapi juga membuka mata kita terhadap kerentanan Bali terhadap perubahan iklim dan pengelolaan tata ruang yang kurang berkelanjutan.

Banjir Bukan Sekadar Musibah Alam

Hujan deras memang fenomena alam, namun dampaknya diperparah oleh alih fungsi lahan, penyempitan sungai akibat pembangunan pariwisata, dan penggundulan hutan. Perubahan iklim memperburuk situasi dengan pola hujan yang semakin tidak menentu. Ini adalah sinyal bahaya bahwa Bali, yang kita banggakan, menyimpan kerentanan besar.

Mitigasi Bencana: Kunci Utama yang Terlupakan

Respons cepat pemerintah dalam evakuasi dan bantuan darurat patut diapresiasi. Namun, kita masih lemah dalam pencegahan. Tata ruang yang lebih mementingkan investasi daripada mitigasi bencana, sungai yang terhimpit bangunan, dan drainase kota yang tersumbat adalah masalah krusial. Tanpa ruang terbuka hijau dan resapan air, hujan ekstrem akan selalu berujung banjir.

Energi Bersih untuk Ketahanan Bali

Transisi energi terbarukan bukan hanya soal mengurangi emisi karbon, tetapi juga meningkatkan ketahanan sosial. Bayangkan jika energi bersih tersebar luas di desa-desa, saat banjir datang dan listrik padam, warga tetap bisa beraktivitas.

Dampak Ekonomi dan Nasib Rakyat Kecil

Banjir menghantam sektor pariwisata, pertanian, dan UMKM, menghancurkan mata pencaharian ribuan warga. Mitigasi bencana dan transisi energi bersih adalah upaya menyelamatkan ekonomi rakyat kecil: petani, nelayan, pedagang, dan buruh pariwisata. Investasi dalam perbaikan drainase, penghijauan, PLTS desa, dan edukasi kebencanaan adalah investasi untuk melindungi tulang punggung Bali.

Peraturan Desa: Keadilan Iklim dari Akar Rumput

Desa adalah garda terdepan dalam menghadapi bencana dan perubahan iklim. Memberi kewenangan kepada desa untuk membuat peraturan tentang transisi energi dan keadilan iklim adalah langkah strategis. Peraturan desa bisa mengatur larangan membangun di bantaran sungai, konservasi hutan adat, pemanfaatan dana desa untuk PLTS, dan dana cadangan untuk warga rentan. Ini adalah keadilan iklim: memastikan kelompok paling rentan tidak menanggung beban terberat krisis iklim.

Amanat Konstitusi dan Jalan Pulang Kita

Melindungi warga dari ancaman bencana dan mengelola sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat adalah amanat konstitusi. Banjir di Bali mengingatkan kita bahwa amanat ini belum sepenuhnya dijalankan. Membangun peraturan desa, memperluas energi bersih, memperkuat tata ruang, dan mengedepankan keadilan iklim adalah wujud nyata menepati janji konstitusi.

Bali adalah wajah kita di mata dunia. Banjir ini mengajarkan kita bahwa rumah seindah apa pun bisa roboh jika pondasinya rapuh. Pondasi itu adalah kebijakan yang berkeadilan, tata ruang yang berpihak pada alam, energi yang bersih dan tangguh, serta desa-desa yang berdaya menghadapi perubahan iklim. Bali bisa menjadi teladan dunia tentang bagaimana menghadapi krisis iklim, dimulai dari desa. Keberanian ini bukan hanya untuk Bali, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia.

Scroll to Top