Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mendistribusikan 330 ribu televisi pintar (smart TV) ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia menuai pro dan kontra. Tujuannya adalah untuk mendukung pembelajaran jarak jauh dan mengatasi kekurangan guru, namun sejumlah pengamat dan praktisi pendidikan justru mempertanyakan efektivitas dan potensi masalah dalam implementasinya.
Masalah Mendasar yang Terabaikan?
Kritik utama terhadap program ini adalah anggapan bahwa pemerintah gagal memahami akar permasalahan pendidikan di Indonesia. Alih-alih fokus pada peningkatan kualitas guru, perbaikan infrastruktur sekolah yang memadai, dan perluasan akses pendidikan, program televisi pintar ini dinilai sebagai solusi instan yang tidak tepat sasaran.
Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), mengkhawatirkan program ini akan mengulang kesalahan serupa dengan pengadaan laptop sebelumnya, yang justru berujung pada kasus korupsi. Ia juga menyoroti bahwa tidak semua sekolah memiliki infrastruktur pendukung yang memadai, seperti listrik dan internet, sehingga televisi pintar tersebut tidak akan berfungsi optimal.
Suara dari Lapangan: Pro dan Kontra dari Guru
Sejumlah guru di kota-kota besar menyambut baik inisiatif ini, melihatnya sebagai media pembelajaran yang modern dan dapat meningkatkan minat belajar siswa. Namun, guru-guru di daerah pelosok mengungkapkan kekhawatiran. Kristin Filiana Maringga, Kepala Sekolah SMAN 1 Pagai Utara Selatan, misalnya, meragukan efektivitas televisi pintar di sekolahnya karena keterbatasan listrik dan internet. Ia bahkan menyebutnya sebagai "pemborosan".
Pendapat serupa juga disampaikan Sutarji, guru SMPN 14 Koya Koso di Jayapura, yang mengeluhkan belum memadainya jaringan internet di sekolahnya. Rahmatullah, guru SD Negeri Inpres Tanjung Ria Jayapura, justru menyarankan agar dana pengadaan televisi pintar dialihkan untuk perbaikan infrastruktur sekolah yang lebih mendesak.
Anggaran Fantastis Tanpa Tender: Potensi Penyelewengan?
Anggaran untuk program ini mencapai Rp 7,9 triliun, yang diambil dari pos anggaran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Yang menjadi sorotan adalah proses pengadaan televisi pintar ini dilakukan tanpa tender, melainkan dengan penunjukan langsung kepada dua perusahaan elektronik, Acer dan Hisense. Pemerintah akhirnya memilih Hisense dengan alasan harga yang lebih murah.
Keputusan ini menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Ubaid Matraji dari JPPI dan Wana Alamsyah dari Indonesia Corruption Watch. Mereka khawatir penghapusan mekanisme tender membuka lebar celah korupsi, seperti yang terjadi pada kasus pengadaan laptop sebelumnya.
Fokus pada Hal Mendasar: Kualitas Guru dan Infrastruktur
Para pakar pendidikan sepakat bahwa pemerintah sebaiknya fokus pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, pembukaan akses pendidikan seluas-luasnya, dan peningkatan infrastruktur pendidikan. Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menganalogikan guru sebagai sopir yang terampil, yang mampu mengemudikan kendaraan apapun dengan baik. Jika guru berkualitas, maka kurikulum apapun dapat dijalankan dengan efektif.
Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan guru-guru di daerah tertinggal mendapatkan tunjangan yang memadai, sehingga mereka termotivasi untuk memajukan pendidikan di daerah tersebut. Alih-alih menghambur-hamburkan anggaran untuk program yang belum tentu efektif, dana tersebut sebaiknya dialokasikan untuk mengatasi masalah mendasar yang menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia.