Gelontoran Dana Rp 200 Triliun ke Bank BUMN oleh Pemerintah Tuai Kritik: Melanggar Konstitusi?

Penyaluran dana sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke lima bank BUMN pada Jumat, 12 September 2025, menuai sorotan tajam. Pemerintah mengklaim langkah ini bertujuan meningkatkan likuiditas, mendorong penyaluran kredit, dan memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, kritikus berpendapat kebijakan ini berpotensi melanggar konstitusi dan sejumlah undang-undang.

Salah satu poin krusial yang disoroti adalah proses penyusunan dan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kritik menyebutkan bahwa UUD 1945 Pasal 23, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, serta UU APBN setiap tahun mengatur secara ketat prosedur yang harus diikuti. Dana APBN merupakan ranah publik, bukan anggaran privat yang bisa dialokasikan secara serampangan.

Pengalihan anggaran negara secara spontan sebesar Rp 200 triliun untuk disalurkan ke perbankan dan kemudian menjadi kredit perusahaan atau individu, dinilai sebagai pelanggaran terhadap Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar. Proses kebijakan yang benar harus ditegakkan, jika tidak, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk, di mana anggaran publik digunakan tanpa mengikuti aturan yang berlaku.

Kebijakan ini juga disoroti karena tidak melalui proses legislasi yang seharusnya. Setiap program yang menggunakan anggaran negara harus dibahas bersama DPR melalui pembahasan di komisi-komisi bersama menteri, badan anggaran, dan Menteri Keuangan. Tanpa proses legislasi, kebijakan tersebut dianggap sebagai kehendak individu pejabat dan terindikasi melanggar konstitusi dan undang-undang negara.

Setiap rupiah dari anggaran negara seharusnya melewati pembahasan dengan DPR, dengan asumsi yang disepakati komisi DPR RI secara detail. Setelah dirumuskan Badan Anggaran dan disetujui DPR dalam sidang paripurna, barulah anggaran negara dapat dialokasikan. Proses inilah yang dianggap sah dalam program pemerintah yang melibatkan anggaran negara.

Pelaksanaan Anggaran & Pengelolaan Kas oleh Kementerian Keuangan pun harus berdasarkan dan diatur oleh undang-undang. Pengeluaran dana Rp 200 triliun ini berpotensi melanggar UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, khususnya pasal 22 ayat 4, 8 dan 9. Pasal 22 UU No. 1/2004 ayat (4) membatasi rekening di bank umum untuk kepentingan operasional (penerimaan negara dan APBN). Ayat (8) menyebutkan rekening pengeluaran diisi dana dari RKUN (Rekening Umum Kas Negara) di Bank Sentral. Ayat (9) membatasi jumlah dana yang disediakan di Rekening Umum Kas Negara pengeluaran, disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah yang sudah ditetapkan di APBN.

Pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar Ayat 9. Tujuan dan jumlah penempatan dana pemerintah di bank umum hanya untuk kepentingan operasional pengeluaran APBN yang jumlah dan penggunaannya sudah ditetapkan DPR, bukan untuk disalurkan oleh bank ke industri melalui skema kredit umum yang lepas dari pembiayaan APBN.

Meskipun tujuannya baik, penempatan anggaran publik (dana pemerintah) di perbankan dinilai melenceng dari amanah Pasal 22 khususnya ayat 8 dan 9 UU No. 1/2004. Program yang tepat harus dimulai dari proses legislasi yang baik melalui APBN, dengan sistematis ihwal ketentuan jumlah yang diperlukan dan program apa saja yang akan dijalankan.

Scroll to Top