Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia, menyumbang hampir 59% produksi global. Namun, ironisnya, harga komoditas ini justru ditentukan oleh pasar di Malaysia dan Rotterdam, Belanda.
Data menunjukkan, Indonesia memiliki lahan sawit seluas 16,38 juta hektar dengan produksi minyak sawit mentah (CPO) mencapai 46,8 juta ton. Meskipun unggul dalam produksi, Indonesia masih menjadi price taker, menerima harga yang ditetapkan oleh negara lain.
Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menekankan perlunya penguatan pusat perdagangan sawit di dalam negeri. Bursa CPO yang telah diresmikan pada tahun 2023 masih memiliki transaksi yang minim, sehingga belum mampu memengaruhi harga internasional.
Jika Indonesia terus menjadi price taker, besarnya produksi tidak akan memberikan nilai yang optimal bagi perekonomian. Pemerintah, BUMN, dan sektor swasta didorong untuk berperan aktif dalam menciptakan harga domestik yang lebih adil dan menjadikan Indonesia pemain utama dalam rantai nilai global sawit.
Selain masalah harga, ketidakpastian hukum juga menjadi ancaman bagi keberlanjutan industri sawit. Inkonsistensi peraturan dapat membuat pelaku usaha beralih ke komoditas lain, yang dampaknya paling dirasakan oleh petani kecil.
Di tengah tantangan ini, industri sawit Indonesia tengah mencari pasar ekspor baru di Eropa Timur, Afrika, dan Timur Tengah sebagai respons terhadap potensi tarif impor dari Amerika Serikat. Diversifikasi pasar ini menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara dan menjaga stabilitas ekspor sawit Indonesia.