Penyaluran dana sebesar Rp200 triliun oleh pemerintah ke sektor perbankan diharapkan dapat memacu pertumbuhan kredit. Namun, di sisi lain, potensi peningkatan risiko kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) juga menjadi perhatian.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa lembaga keuangan, terutama 5 bank BUMN penerima dana (BRI, BNI, BTN, BSI, dan Bank Mandiri), telah memiliki sistem mitigasi risiko kredit yang kuat. Sistem ini diharapkan mampu menangani potensi masalah NPL dengan cepat dan efektif.
"Setiap bank memiliki kemampuan untuk menganalisis dan mengelola risiko," ujarnya usai pertemuan dengan Menteri Keuangan.
Lebih lanjut, ditekankan bahwa perbankan akan selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap penyaluran kredit. Dengan demikian, risiko kredit macet diyakini tetap terkendali meskipun likuiditas perbankan saat ini berlimpah dan peluang penyaluran kredit semakin luas.
"Pelaksanaan tetap berpegang pada kaidah prudensial yang berlaku. Tidak ada pengecualian atau pengorbanan terhadap prinsip tersebut," tegasnya.
Sebagai catatan, tren peningkatan NPL di Indonesia telah terlihat sejak awal tahun 2025. Rasio NPL gross per Januari 2025 tercatat naik 10 basis poin menjadi 2,18% dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juni 2025, angka ini terus meningkat hingga mencapai 2,22%, dan berlanjut menjadi 2,28% pada Juli 2025.
Di sisi lain, suntikan dana Rp200 triliun telah mendongkrak likuiditas perbankan. Hal ini tercermin dari kenaikan rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang kembali ke level normal, di atas 20%.
"Dengan tambahan dana Rp200 triliun, AL/DPK kini di atas 20%, angka yang baik untuk mengukur likuiditas bank," jelasnya.
Selain itu, perbankan kini memiliki ruang yang lebih besar untuk menyalurkan kredit. Hal ini terlihat dari penurunan rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) yang kembali di bawah 90%.
"Ini memberikan ruang bagi bank untuk menyalurkan pinjaman kepada debitur dengan proposal dan proyek yang layak," pungkasnya.