Dana Pemerintah Rp 200 Triliun di Bank BUMN Justru Jadi Beban?

Jakarta – Penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menuai kritik. Dolfie Othniel Frederic Palit, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, menilai kebijakan ini justru membebani perbankan. Alasannya, jumlah kredit yang belum tersalurkan (kredit nganggur) mencapai angka fantastis, yaitu Rp 2.304 triliun per Juni 2025.

Kekhawatiran ini disampaikan Dolfie dalam rapat kerja dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Data mengenai besarnya kredit nganggur tersebut dikonfirmasi kebenarannya oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae.

"Yang nganggur saja sudah Rp 2.000-an triliun, ditambah Rp 200 triliun, kita tidak tahu untuk apa. Rp 2.000 triliun saja belum bisa dioptimalkan, ditambah lagi Rp 200 triliun, malah menjadi beban," ujar Dolfie.

Lebih lanjut, Dolfie menyoroti rasio kredit terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) perbankan yang dinilai sulit mencapai target 90%. Sempat naik menjadi 86,54% pada Juli 2025, LDR justru mengalami penurunan setelah penambahan dana dari pemerintah, menjadi 86,03% pada Agustus 2025, dan kembali turun menjadi 85,34%.

"Mau mengejar sampai 90 saya tidak tahu apakah bisa atau tidak dengan kondisi dunia usaha kita saat ini," kata Dolfie dengan nada pesimis.

Informasi yang diperoleh Dolfie menyebutkan bahwa dana pemerintah Rp 200 triliun tersebut berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), yang merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dolfie khawatir, jika kebijakan ini berdampak negatif, maka rakyat yang akan menanggung akibatnya.

"SAL berasal dari SBN, kita bayar bunga SBN, sementara bunga yang diberikan ke bank rendah, jadi tanggungan APBN akhirnya. Uang APBN itu uang rakyat, jadi rakyat juga yang menanggung akibat dari kebijakan ini," pungkasnya.

Scroll to Top