Uni Eropa Pertimbangkan Sanksi Terhadap Israel di Tengah Konflik Gaza yang Memburuk

Brussels – Di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang situasi kemanusiaan di Gaza, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, mengusulkan langkah-langkah pembatasan perdagangan dengan Israel. Proposal ini juga mencakup potensi sanksi terhadap sejumlah pejabat tinggi Israel dari spektrum kanan politik, seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich.

Kallas menekankan bahwa tujuan dari usulan ini bukanlah untuk menghukum Israel, melainkan untuk memperbaiki kondisi kemanusiaan yang memprihatinkan di Gaza. Ia menyerukan penghentian segera konflik, diakhirinya penderitaan warga sipil, dan pembebasan seluruh sandera.

Namun, dukungan penuh dari 27 negara anggota Uni Eropa masih belum pasti. Uni Eropa sendiri menghadapi kritik karena dianggap kurang tegas dalam menekan Israel untuk mengakhiri konflik.

Pemerintah Jerman menyatakan telah mengetahui usulan tersebut, tetapi belum mengambil keputusan final. Sementara itu, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, sebelumnya mengumumkan penghentian sementara bantuan dana Uni Eropa kepada Israel dan sedang mempertimbangkan langkah-langkah lebih lanjut.

Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, menyebut potensi penangguhan manfaat perdagangan tertentu sebagai tindakan "tidak proporsional" dan "belum pernah terjadi sebelumnya."

Di sisi lain, militer Israel semakin gencar melakukan operasi di Kota Gaza.

Intensifikasi Serangan Israel di Kota Gaza

Militer Israel mengklaim telah melancarkan lebih dari 150 serangan udara dan artileri di Gaza, sementara pasukan darat bersiap untuk masuk lebih dalam ke wilayah tersebut.

Laporan dari Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas menyebutkan bahwa jumlah korban jiwa warga Palestina telah melebihi 65.000 orang. Serangan-serangan tersebut telah menyebabkan terputusnya layanan telepon dan internet, mempersulit warga Palestina untuk meminta bantuan medis.

Israel membuka jalur evakuasi di selatan Kota Gaza selama dua hari, dimulai pada hari Rabu, agar warga sipil dapat mengungsi.

Dampak Kemanusiaan yang Mengerikan: Trauma pada Pengungsi Gaza

UNICEF melaporkan bahwa sedikitnya 400.000 warga Gaza, atau 40% dari populasi kota, telah mengungsi sejak diumumkannya operasi militer Israel pada 10 Agustus 2025.

Kantor media di Gaza menyatakan bahwa 190.000 orang telah bergerak ke selatan, sementara 350.000 lainnya mengungsi ke wilayah tengah dan barat kota. Israel memperkirakan sekitar 100.000 warga sipil masih berada di Kota Gaza.

Juru bicara UNICEF, Tess Ingram, mengungkapkan bahwa warga Palestina hidup dalam ketakutan dan merasa tidak aman, baik saat menetap maupun saat berusaha menyelamatkan diri. Zona kemanusiaan Al Mawasi tidak aman karena kekurangan layanan dan pasokan penting. Dalam dua minggu terakhir, wilayah tersebut dilaporkan mengalami serangan yang menewaskan delapan anak saat mereka berusaha mendapatkan air minum.

Ingram menggambarkan kondisi para pengungsi sebagai kelelahan dan trauma. Banyak anak-anak berjalan berjam-jam di atas puing-puing tanpa alas kaki dan mengalami luka-luka. Bantuan kemanusiaan saat ini tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan warga Gaza, terutama dengan masuknya ratusan ribu pengungsi.

UNICEF mendesak pembukaan semua penyeberangan ke Jalur Gaza untuk mempercepat penyaluran bantuan yang telah diserukan selama berbulan-bulan.

Tuduhan Genosida oleh PBB

Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB menuduh Israel melakukan genosida di Jalur Gaza sejak 2023. Mereka menyatakan bahwa empat dari lima tindakan genosida yang tercantum dalam Konvensi Genosida PBB 1948 telah dilakukan di Gaza.

Laporan tersebut menunjuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Isaac Herzog, dan Mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant sebagai terduga perencana genosida. Kesimpulan ini sejalan dengan temuan dari berbagai asosiasi sarjana genosida dan kelompok hak asasi internasional.

Scroll to Top