Seorang pria di Amerika Serikat mencatatkan rekor baru yang mencengangkan: terinfeksi COVID-19 dalam jangka waktu yang sangat panjang, yaitu lebih dari 750 hari. Kondisi ini menjadikannya pasien dengan infeksi COVID-19 terlama yang tercatat.
Pria berusia 41 tahun ini diketahui memiliki riwayat positif HIV, yang membuatnya lebih rentan terhadap infeksi virus SARS-CoV-2. Sayangnya, infeksi COVID-19 yang berkepanjangan ini menghalanginya untuk menerima terapi antiretroviral (ART) yang dibutuhkannya. Akses ke perawatan medis yang memadai juga menjadi kendala, meskipun ia mengalami berbagai gejala seperti gangguan pernapasan, sakit kepala, nyeri badan, dan kelelahan.
Kondisi sistem imunnya juga memprihatinkan, dengan jumlah sel T pembantu imun yang sangat rendah, hanya 35 sel per mikroliter darah. Sebagai perbandingan, jumlah sel T normal berkisar antara 500 hingga 1.500 sel per mikroliter.
Selama masa infeksinya yang panjang, pria ini mengalami gejala pernapasan yang terus-menerus dan harus dirawat di rumah sakit sebanyak lima kali. Meskipun durasi infeksinya luar biasa, kondisinya berbeda dengan long COVID. Gejala yang dialaminya bukan merupakan gejala sisa setelah virus hilang, melainkan kelanjutan dari keberadaan virus SARS-CoV-2 di dalam tubuhnya selama lebih dari dua tahun.
Para ahli epidemiologi menekankan bahwa kondisi seperti ini umumnya terjadi pada individu yang rentan. Namun, potensi serupa juga bisa terjadi pada siapa saja. Infeksi yang berlangsung lama memberikan kesempatan bagi virus untuk berevolusi dan menemukan cara yang lebih efisien untuk menginfeksi sel. Studi ini juga menambah bukti bahwa varian yang lebih menular dapat muncul dari infeksi yang berkepanjangan.
Penelitian lebih lanjut dengan analisis genetik menunjukkan bahwa mutasi serupa dengan yang menyebabkan munculnya varian Omicron yang cepat menular, sedang dalam proses replikasi pada pasien ini. Ini mendukung teori bahwa perubahan mirip Omicron berkembang karena tekanan seleksi yang dialami virus di dalam tubuh.
Meskipun infeksi masih menetap, para ahli mengamati tidak adanya infeksi lanjutan. Hal ini mengindikasikan hilangnya kemampuan penularan selama proses adaptasi virus terhadap inang tunggal. Meskipun demikian, kemungkinan infeksi lain menetap dalam tubuh dalam jangka panjang tetap ada. Temuan ini mendorong para ahli untuk meningkatkan kewaspadaan dan menekankan pentingnya pemantauan ketat terhadap kasus COVID-19 yang berkelanjutan, serta memastikan akses layanan kesehatan yang merata untuk semua orang.