Rupiah Tertekan: Kombinasi Sinyal The Fed, Politik Domestik, dan Arus Modal Keluar

Nilai tukar rupiah sedang menghadapi tantangan berat terhadap dolar AS, dipicu oleh serangkaian faktor kompleks yang berasal dari kebijakan moneter global dan dinamika internal Indonesia.

Bank Indonesia (BI) mengambil langkah berani dengan menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% pada Rabu (17/9/2025). Ini adalah penurunan kelima di tahun 2025, dengan total pemangkasan mencapai 125 bps. Pada hari yang sama, The Federal Reserve (The Fed) juga menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 4,00%-4,25%, penurunan pertama mereka tahun ini.

Namun, alih-alih melemah, dolar AS justru menguat. Ketua The Fed, Jerome Powell, menyampaikan pesan yang dianggap pasar sangat hati-hati. Powell menekankan bahwa pemangkasan suku bunga ini lebih sebagai tindakan pengelolaan risiko daripada awal dari siklus pemangkasan yang agresif. Akibatnya, indeks dolar AS (DXY) melonjak, menekan rupiah.

Data menunjukkan rupiah melemah 0,46% menjadi Rp16.500/US$ pada Kamis (18/9/2025), terendah sejak 15 Mei 2025. Tekanan berlanjut pada Jumat (19/9/2025), dengan depresiasi 0,52% ke level Rp16.585/US$ pada pukul 14.10 WIB.

Ekonom menekankan bahwa melemahnya rupiah lebih disebabkan oleh interpretasi pasar terhadap sikap The Fed daripada pemangkasan suku bunga itu sendiri. Pesan hati-hati dari The Fed meningkatkan permintaan dolar. Faktor regional, seperti isyarat pelonggaran dari bank sentral Korea, juga memperkuat posisi dolar. Kondisi ini mendorong peningkatan arus lindung nilai (hedging) di pasar Asia, terutama pada malam hari saat likuiditas rupiah menipis.

Pemangkasan BI Rate mempersempit selisih imbal hasil antara rupiah dan aset dolar, yang mengurangi daya tarik rupiah bagi investor global jangka pendek.

Selain faktor eksternal, dinamika politik domestik juga berperan dalam pelemahan rupiah. Perubahan dalam kabinet, terutama pergantian Menteri Keuangan, memicu kekhawatiran tentang independensi BI dan arah kebijakan ekonomi ke depan. Hal ini membuat investor asing menarik modal, menjadikan rupiah rentan terhadap volatilitas global.

Arus keluar dana asing dari pasar obligasi serta kebutuhan korporasi untuk membayar utang dalam valuta asing semakin memperburuk tekanan pada rupiah. Imbal hasil obligasi AS yang tidak turun signifikan pasca rapat The Fed membuat aset dolar tetap menarik bagi investor global.

Data transaksi Bank Indonesia menunjukkan net outflow dari berbagai instrumen investasi selama periode 8-11 September 2025, mencapai Rp 14,24 triliun. Net sell terjadi di pasar saham (Rp 2,22 triliun), Surat Berharga Negara (SBN) (Rp 5,45 triliun), dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) (Rp 6,57 triliun). Secara keseluruhan, sepanjang tahun 2025, asing mencatat net outflow sebesar Rp54,33 triliun di pasar saham dan Rp117,72 triliun di SRBI, namun beli neto sebesar Rp58,94 triliun di pasar SBN.

Scroll to Top