Ironi Pendidikan di Era Digital: Antara Harapan dan Kenyataan

Dunia pendidikan kita terus berkembang, membandingkan masa lalu dan kini dalam hal fasilitas, tenaga pengajar, murid, orang tua, dan sistemnya. Bagi sebagian besar orang, gambaran sekolah identik dengan gedung, seragam, dan guru yang rapi. Namun, impian sekolah modern dengan teknologi canggih dan siswa yang bebas berekspresi juga ada.

Seorang pengajar dengan pengalaman lebih dari 20 tahun, merasakan langsung dinamika ini. Pengalaman panjang ini seharusnya menjadi referensi berharga, namun ada kesenjangan antara harapan dan realita.

Selama mengabdi di satu sekolah, perubahan signifikan dalam proses belajar mengajar tidak terlalu nampak. Dinamika karakter siswa, meski ada perbedaan, secara umum dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 dan, yang paling utama, gawai (gadget).

Digitalisasi, yang awalnya bertujuan baik sebagai solusi pembelajaran jarak jauh, justru memunculkan dampak negatif yang mengakar kuat. Perangkat digital menjadi fokus utama, menggeser esensi pembelajaran itu sendiri.

Dulu, banyak yang membayangkan sekolah tanpa buku akan sangat menyenangkan. Siswa tidak perlu lagi membawa tas berat, orang tua tidak perlu repot membeli buku. Apalagi dengan adanya buku teks digital gratis dari pemerintah.

Namun, kenyataan berkata lain.

Ironisnya, siswa SMA sekarang kesulitan dalam perhitungan dasar, tidak mengenal nama-nama kota dan letak ibukota provinsi di Indonesia, tidak tahu siapa yang mengetik naskah proklamasi, tidak mengerti alasan Diponegoro dianggap pahlawan, dan tidak menyadari bahwa PKI adalah partai yang bertentangan dengan Pancasila.

Satu hal yang tetap abadi adalah respons khas para siswa: "Ah, opo kae?" (Ah, apa itu?). Sebuah ungkapan yang menggambarkan kurangnya pengetahuan dan minat belajar. Inilah ironi pendidikan di era digital: kemudahan akses informasi tidak menjamin peningkatan pemahaman dan wawasan.

Scroll to Top