Program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah inisiatif ambisius dengan target menjangkau 20 juta penerima manfaat pada tahun 2025, kini tengah menghadapi badai kritik dan kekhawatiran. Di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan status gizi anak-anak Indonesia, program ini justru diwarnai serangkaian kasus keracunan massal yang meresahkan.
Hingga saat ini, tercatat 5.626 kasus keracunan akibat MBG di berbagai kota dan kabupaten yang tersebar di 16 provinsi. Lonjakan kasus ini memicu perdebatan sengit mengenai kelanjutan program tersebut. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat sipil mendesak agar MBG dihentikan, dengan opsi mengalihkan anggaran ke sektor pendidikan.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Data menunjukkan peningkatan drastis kasus keracunan. Pada akhir Juni, tercatat 1.376 anak mengalami keracunan, dan dalam tiga bulan berikutnya, angka ini melonjak hampir empat kali lipat. Bahkan, dalam satu minggu terakhir, terjadi dua insiden keracunan di lokasi yang berbeda, yaitu di Banggai Kepulauan dan Garut.
Founder dan CEO lembaga kajian Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengibaratkan kasus keracunan MBG sebagai fenomena gunung es. Ia menduga bahwa jumlah kasus sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan, karena pemerintah belum menyediakan platform pelaporan yang transparan dan mudah diakses publik.
Keresahan para orang tua murid semakin meningkat dengan beredarnya surat persetujuan terkait MBG yang dinilai memberatkan. Surat tersebut seolah mengalihkan tanggung jawab kepada orang tua jika terjadi keracunan atau kehilangan tray makan. Bahkan, terdapat klausul yang melarang pemberian informasi keluar jika terjadi kasus keracunan. Meskipun Kepala BGN membantah mengeluarkan surat tersebut, hal ini semakin memperkeruh suasana.
Lebih Baik Dialihkan untuk Pendidikan?
Sejumlah orang tua murid berpendapat bahwa anggaran MBG sebaiknya dialihkan untuk perbaikan pendidikan. Mereka meragukan nilai gizi menu MBG yang seringkali hanya berupa makanan sederhana, bahkan cenderung seperti junk food. Selain itu, banyak makanan yang terbuang karena selera anak-anak yang berbeda-beda.
Seorang ibu rumah tangga di Makassar mengusulkan agar anggaran MBG dialihkan untuk program pendidikan yang benar-benar gratis dan meringankan beban orang tua. Ia menekankan pentingnya membuka lapangan kerja seluas-luasnya agar orang tua mampu memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka.
Dilema di Lapangan: Manfaat dan Pemborosan
Di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa MBG sebenarnya bisa bermanfaat jika dijalankan dengan perhitungan yang matang. Seorang ibu di Kabupaten Gowa menilai bahwa MBG dapat menjadi alternatif untuk menghindari anak-anak jajan makanan instan yang tidak sehat. Namun, ia juga menyoroti banyaknya makanan yang terbuang karena tidak sesuai dengan selera anak-anak.
Seorang orang tua siswa asal Batang, Jawa Tengah, juga menyuarakan perlunya pengelolaan yang benar dalam program MBG. Ia mengusulkan agar dapur MBG dikelola di sekolah masing-masing agar lebih efektif dan makanan tidak terlambat sampai ke siswa.
Langkah Evaluasi dari BGN
Menanggapi berbagai kritik dan insiden keracunan, Kepala BGN menyatakan tengah melakukan evaluasi menyeluruh dengan membentuk Satgas KLB. Ia juga telah menghentikan sementara operasi SPPG yang bermasalah di beberapa lokasi.
Namun, lembaga kajian CISDI mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara program MBG secara menyeluruh. Mereka menilai bahwa ambisi pemerintah untuk menjangkau target penerima manfaat yang sangat besar membuat program ini dilaksanakan secara terburu-buru, sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik.
CISDI juga menyoroti kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam program MBG. Mereka mempertanyakan klaim pemerintah bahwa program ini telah menjangkau 22 juta penerima manfaat di 38 provinsi, karena minimnya informasi yang dapat diakses publik.
Di tengah kontroversi ini, masa depan program MBG masih belum jelas. Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh dan melibatkan berbagai pihak terkait untuk memastikan bahwa program ini benar-benar bermanfaat bagi anak-anak Indonesia, tanpa mengorbankan kesehatan dan keselamatan mereka.