Pemerintah Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, mengumumkan perubahan signifikan terkait visa H-1B pada Jumat (19/9/2025). Kebijakan baru ini menetapkan biaya sebesar 100.000 dollar AS, setara dengan Rp 1,6 miliar, bagi setiap pemohon visa kerja asing tersebut.
Biaya ini akan mulai berlaku pada siklus lotere visa mendatang dan hanya dikenakan pada pemohon baru. Perpanjangan visa dan pemegang visa yang sudah ada tidak terpengaruh oleh aturan ini. Gedung Putih mengklarifikasi bahwa biaya ini bukan biaya tahunan.
Langkah ini diprediksi akan membawa dampak besar, terutama bagi perusahaan teknologi dan finansial di AS yang sangat bergantung pada tenaga kerja asing terampil, khususnya dari India dan China.
Perusahaan-perusahaan besar seperti Amazon, yang tercatat memiliki 14.365 pekerja dengan visa H-1B hingga akhir Juni 2025, telah mengambil langkah antisipasi. Amazon mengimbau karyawannya pemegang visa H-1B dan H-4 untuk tetap berada di AS, atau segera kembali jika berada di luar negeri sebelum tanggal 21 September pukul 00.01 ET.
Arahan serupa juga dikeluarkan oleh JPMorgan Chase, yang meminta karyawan pemegang visa H-1B untuk menghindari perjalanan ke luar negeri. Goldman Sachs pun memberikan peringatan kepada karyawannya berdasarkan informasi dari firma imigrasi Fragomen. Microsoft juga mengimbau pemegang visa untuk tetap berada di AS, mengingat risiko gangguan terhadap status imigrasi mereka jika melakukan perjalanan internasional.
Kebijakan biaya visa H-1B ini merupakan langkah agresif terbaru dari pemerintahan Trump dalam memperketat imigrasi, baik legal maupun ilegal. Data U.S. Citizen and Immigration Services per 30 Juni 2025 menunjukkan Amazon sebagai penerima visa H-1B terbanyak, diikuti oleh Tata Consultancy Services, Microsoft, Meta Platforms, Apple, dan Google. Perusahaan jasa dan finansial seperti Cognizant Technology Solutions, JPMorgan Chase, Walmart, dan Deloitte juga termasuk dalam daftar penerima visa H-1B terbesar.
Juru bicara Gedung Putih, Taylor Rogers, menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengutamakan pekerja Amerika, mencegah penyalahgunaan sistem, dan menjaga upah tetap kompetitif, serta memberikan kepastian bagi bisnis AS yang membutuhkan tenaga kerja terampil.
Kebijakan ini juga menimbulkan reaksi dari negara lain. Pemerintah India menyatakan sedang mengkaji dampak pembatasan visa ini terhadap industri mereka, dan menyoroti potensi gangguan bagi keluarga pemegang visa. Kementerian Luar Negeri India berharap otoritas AS dapat mengatasi masalah ini dengan baik. Kementerian Luar Negeri Korea Selatan juga menegaskan sedang menilai dampak aturan baru tersebut terhadap perusahaan dan pekerja terampil asal Korea.