Euphoria Saham Rokok: Efek Menteri Keuangan Baru?

Saham-saham perusahaan rokok mengalami lonjakan harga yang signifikan pada perdagangan pagi hari ini, Selasa (23/9/2025). Keempat emiten rokok yang terdaftar di bursa saham kompak mencatatkan performa positif.

Hingga pukul 11.35 WIB, saham Indonesia Tobacco (ITIC) memimpin penguatan dengan melesat hingga menyentuh batas auto rejection atas (ARA), naik 24,87% ke harga Rp 482 per saham. Menyusul di belakangnya, saham raksasa produsen rokok Gudang Garam (GGRM) melonjak 18,36% menjadi Rp 5.475 per saham. Bahkan, GGRM sempat mencapai level ARA pada perdagangan intraday hari ini.

Wismilak Inti Makmur (WIIM) juga tak ketinggalan, mencatatkan kenaikan sebesar 18,03% ke Rp 1.440 per saham.

Sementara itu, saham emiten rokok terbesar di Indonesia, HM Sampoerna (HMSP), turut meroket sebesar 11,25% ke Rp 890 per saham, mengantarkan kapitalisasi pasarnya kembali menembus angka Rp 100 triliun untuk pertama kalinya dalam lebih dari setahun.

Kenaikan harga saham rokok ini terjadi setelah pergantian Menteri Keuangan, dari Sri Mulyani Indrawati yang dikenal dengan kebijakan kenaikan cukai rokok yang agresif, kepada Purbaya Yudhi Sadewa. Purbaya mengisyaratkan akan meninjau ulang efektivitas kebijakan cukai yang ada.

Sejak Purbaya dilantik, saham-saham emiten rokok telah mencatat kenaikan signifikan, dengan kenaikan terendah mencapai 66% dan tertinggi mencapai 116%.

Reli saham emiten rokok ini dipicu oleh pernyataan Purbaya terkait tarif cukai hasil tembakau (CHT). Ia berjanji akan memerangi rokok ilegal, bahkan hingga ke ranah digital melalui platform e-commerce.

Purbaya mengkritisi tingginya tarif CHT, dengan menyebut angka rata-rata 57% sebagai "Firaun". Ia menilai tarif tinggi ini berpotensi mengganggu iklim bisnis industri hasil tembakau dan bahkan menekan penerimaan negara.

"Terus, kalau turun gimana? Ini bukan saya mau turunin, ya. cuma diskusi. Kalau turun gimana? Kalau turun makin banyak income-nya. Kenapa dinaikin kalau gitu?" ungkap Purbaya.

Meski mengakui bahwa kebijakan tarif CHT yang tinggi bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok, Purbaya merasa ada ketidakbijaksanaan dalam desain kebijakan tersebut. Ia menyoroti kurangnya perhatian terhadap nasib tenaga kerja yang bergantung pada industri rokok.

"Apakah kita sudah buat program untuk memitigasi tenaga kerja yang menjadi nganggur? Programnya apa dari pemerintah? Enggak ada. Loh kok enak? Kenapa buat kebijakan seperti itu? itu diskusinya di sana," ujar Purbaya.

Oleh karena itu, Purbaya menjanjikan kebijakan CHT yang lebih seimbang, antara menjaga kesehatan masyarakat dengan mengendalikan konsumsi, namun tidak mematikan industri rokok yang menyediakan lapangan kerja.

"Kalau gitu, nanti kita lihat. Selama kita enggak bisa punya program yang bisa menyerap tenaga kerja yang nganggur, industri itu enggak boleh dibunuh, itu kan hanya menimbulkan orang susah aja, tapi memang harus dibatasin yang ngerokok itu," ucapnya.

Purbaya menegaskan, pembatasan konsumsi rokok tidak harus selalu melalui kebijakan tarif yang tinggi. Ia menekankan pentingnya edukasi tentang risiko merokok dan perlunya kebijakan bantuan pemerintah bagi tenaga kerja yang terdampak.

"Itu kan kebijakan yang enggak bertanggung jawab, kan?" pungkas Purbaya.

Scroll to Top