Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan klarifikasi terkait uang yang disita dari Ustaz Khalid Basalamah dalam kasus dugaan korupsi terkait kuota haji tahun 2024. Lembaga antirasuah tersebut menyatakan bahwa nasib uang tersebut akan ditentukan melalui proses peradilan.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyampaikan bahwa status uang sitaan, apakah akan dirampas untuk negara atau dikembalikan, akan bergantung pada putusan hakim di pengadilan.
Kasus dugaan korupsi pembagian kuota haji khusus tambahan tahun 2024 ini telah ditingkatkan ke tahap penyidikan. Meskipun demikian, KPK belum mengumumkan secara resmi siapa saja yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Dalam proses penyidikan, KPK telah melakukan penyitaan terhadap berbagai aset, termasuk rumah, mobil, dan sejumlah uang. Salah satu penyitaan yang menjadi perhatian adalah uang yang disita dari Ustaz Khalid Basalamah.
Menurut keterangan KPK, uang yang disita dari Ustaz Khalid tersebut diduga merupakan uang ‘percepatan’ yang diminta oleh oknum Kementerian Agama (Kemenag). Uang tersebut diserahkan setelah Ustaz Khalid menerima tawaran untuk beralih dari jalur haji furoda ke haji dengan menggunakan kuota khusus tambahan tahun 2024, dengan iming-iming fasilitas maktab VIP.
KPK mengungkapkan bahwa uang yang telah disetorkan oleh Ustaz Khalid beserta para jemaahnya kemudian dikembalikan oleh oknum Kemenag karena kekhawatiran akan adanya panitia khusus (Pansus) haji DPR pada tahun 2024. Uang tersebut dijadikan bukti adanya permintaan uang dari pihak Kemenag yang diduga dilakukan melalui travel tertentu dalam praktik jual beli kuota haji khusus tambahan tahun 2024.
"Uang ini digunakan untuk proses pembuktian. Penyidik akan menggunakan barang bukti yang telah disita dalam proses pembuktian di pengadilan," jelas Budi. KPK saat ini fokus pada tahap penyidikan, khususnya pembuktian perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait.
Kasus ini bermula ketika Indonesia mendapatkan tambahan kuota haji sebanyak 20 ribu dari Arab Saudi. Kementerian Agama saat itu memutuskan untuk membagi rata kuota tambahan tersebut, yaitu 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Namun, menurut undang-undang yang berlaku, kuota haji khusus seharusnya hanya sebesar 8 persen dari total kuota nasional. KPK menduga bahwa sejumlah travel haji yang mengetahui informasi mengenai kuota tambahan tersebut melakukan lobi kepada pihak Kemenag untuk membahas pembagian kuota.
Berdasarkan perhitungan sementara, kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 1 triliun. KPK juga menyoroti bahwa kasus ini menyebabkan ribuan jemaah haji yang telah mengantre selama bertahun-tahun dan seharusnya bisa diberangkatkan dengan tambahan kuota tahun 2024, akhirnya gagal berangkat.