Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, melayangkan kritik keras terhadap kebijakan pemerintahan Donald Trump yang melarang Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, hadir secara langsung di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Larangan ini terjadi di tengah momentum penting, di mana banyak negara, termasuk sekutu dekat AS seperti Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia, mengumumkan pengakuan resmi terhadap negara Palestina selama Sidang Majelis Umum PBB berlangsung.
"Sangat disayangkan Presiden Mahmoud Abbas dihalangi oleh negara tuan rumah untuk berpartisipasi dalam momen bersejarah ini," ujar Lula dalam pidatonya di Majelis Umum PBB.
Lula juga menyoroti isu genosida yang terjadi di Jalur Gaza, Palestina. Ia mengutuk serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, namun menekankan bahwa tindakan tersebut tidak membenarkan agresi brutal Israel yang telah merenggut nyawa lebih dari 65 ribu warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
"Serangan teroris yang dilakukan Hamas tidak dapat dibenarkan, namun hal ini tidak serta merta membenarkan genosida yang sedang terjadi di Gaza," tegas Lula, yang menjadi pemimpin negara pertama yang berpidato di Sidang Majelis Umum PBB tahun ini.
Lula menekankan bahwa bangsa Palestina tengah menghadapi ancaman kepunahan akibat genosida yang sedang berlangsung. Ia menyerukan pembentukan negara independen Palestina yang terintegrasi dengan komunitas internasional, solusi yang didukung oleh lebih dari 150 negara.
Pemerintahan Trump sebelumnya mencabut sekitar 80 visa pejabat Palestina, termasuk Presiden Abbas, dengan alasan bahwa tindakan tersebut "merusak upaya perdamaian".
Namun, Abbas tetap dapat menyampaikan pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB melalui telekonferensi video, setelah disetujui oleh mayoritas negara anggota PBB. Sebanyak 142 negara mendukung partisipasi Abbas melalui video, sementara lima negara menolak dan enam lainnya abstain. Negara-negara yang menolak adalah Israel, Nauru, Palau, Paraguay, dan Amerika Serikat.