Para pemimpin Afrika hadir di Sidang Umum PBB (UNGA) dengan agenda yang jelas: meningkatkan representasi di forum global, mengupayakan perdamaian dan keamanan, serta mendorong pendanaan untuk pembangunan berkelanjutan.
Dengan tema "Bersama Lebih Baik: 80 Tahun dan Lebih untuk Perdamaian, Pembangunan, dan Hak Asasi Manusia", UNGA menjadi panggung bagi Afrika untuk menuntut pengakuan yang lebih baik atas peran geopolitiknya yang semakin penting dan mengatasi marginalisasi yang telah lama dialami.
Namun, di balik aspirasi tersebut, tantangan global dan tuntutan reformasi yang belum terwujud membayangi. Krisis global, dari Gaza hingga Ukraina, serta keraguan tentang peran kepemimpinan AS di bawah kebijakan luar negeri Donald Trump, mewarnai jalannya sidang. Konflik di wilayah Sahel dan Kongo, khususnya terkait pemberontak M23, kemungkinan tidak akan menjadi fokus utama.
Desakan Reformasi Dewan Keamanan PBB
Tuntutan reformasi PBB bukanlah hal baru. Tahun ini, Afrika kembali mendesak adanya kursi permanen di Dewan Keamanan PBB, mengkritik struktur yang ada sebagai usang dan tidak adil. Meskipun negara-negara Afrika berkontribusi signifikan dalam misi perdamaian dan pembangunan global PBB, representasi mereka dalam pengambilan keputusan penting masih minim.
Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, menyatakan bahwa struktur Dewan Keamanan yang ketinggalan zaman dan penggunaan hak veto secara sepihak oleh anggota tetap telah merusak legitimasi PBB dan menghambat upaya perdamaian global. Menurutnya, lima anggota tetap membuat keputusan atas nama mayoritas populasi dunia yang tinggal di negara-negara Selatan Global, dan terus menggunakan hak veto untuk melumpuhkan aksi kolektif.
Rintangan Mendapatkan Kursi Tetap
Perjalanan Afrika menuju kursi tetap di Dewan Keamanan PBB akan sulit. Perubahan Piagam PBB, yang memerlukan dukungan dua pertiga dari negara anggota, menjadi syarat utama. Afrika harus meyakinkan semua anggota lain bahwa benua ini layak mendapatkan kursi tersebut.
Bahkan jika Uni Afrika berhasil mengumpulkan dukungan yang diperlukan, resolusi tersebut tetap harus diratifikasi oleh lima anggota tetap, yang hingga kini belum bersedia berbagi kekuasaan.
Dukungan untuk Palestina
Cyril Ramaphosa juga menjadi suara yang lantang mengecam kekerasan di Gaza, menegaskan bahwa Afrika Selatan mendukung pembentukan Negara Palestina yang berdampingan secara damai dengan Israel, berdasarkan perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Pemimpin Afrika lainnya juga menyampaikan solidaritas terhadap Palestina, membandingkan perjuangan Palestina dengan sejarah kolonialisme dan penindasan yang pernah dialami Afrika. Banyak negara Afrika telah lama mengakui Palestina, dan solusi dua negara telah lama menjadi agenda mereka. Ramaphosa mendorong agar status Palestina ditingkatkan dari pengamat menjadi anggota penuh PBB. Namun, langkah ini menghadapi tantangan besar karena memerlukan persetujuan dari kelima anggota tetap Dewan Keamanan.