Jakarta – Dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyampaikan pesan tegas bahwa rakyat Palestina tidak akan menyerah dan meninggalkan tanah air mereka. Meskipun menghadapi penderitaan yang mendalam, semangat mereka untuk hidup dan bertahan akan tetap membara.
"Seberapapun besar luka yang kami rasakan, dan selama apapun penderitaan ini berlangsung, hal itu tidak akan pernah mematahkan tekad kami untuk hidup dan mempertahankan keberadaan kami," kata Abbas.
Abbas dengan lantang menyatakan bahwa bendera Palestina akan terus berkibar tinggi, menandakan kemerdekaan dan kebebasan dari penjajahan. Palestina adalah milik mereka, dan Yerusalem adalah jantung serta ibu kota abadi mereka. "Kami tidak akan meninggalkan tanah kami," tegasnya.
"Rakyat kami akan tetap berakar kuat seperti pohon zaitun. Sekuat batu karang, kami akan bangkit dari reruntuhan untuk membangun kembali, menyampaikan pesan harapan, kebenaran, dan keadilan, serta membangun jembatan perdamaian yang adil bagi semua masyarakat di wilayah kami dan di seluruh dunia," lanjut Abbas dengan penuh semangat.
Dalam kesempatan tersebut, Abbas juga mengecam keras tindakan genosida yang telah berlangsung selama dua tahun di Gaza. Ia menyoroti penderitaan rakyat Gaza yang harus berjuang melawan kelaparan dan upaya pengusiran paksa dari tanah mereka.
"Saya berbicara kepada Anda hari ini setelah hampir dua tahun di mana rakyat Palestina di Jalur Gaza menghadapi perang genosida, kehancuran, kelaparan, dan pengusiran," ungkapnya dengan nada prihatin.
Abbas menuding bahwa "pasukan pendudukan Israel" bertanggung jawab atas genosida tersebut, yang telah menyebabkan lebih dari 220.000 warga Palestina menjadi korban, sebagian besar adalah anak-anak, perempuan, dan orang tua yang tidak bersenjata.
"Apa yang dilakukan Israel bukanlah sekadar agresi. Ini adalah kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terdokumentasi dengan baik dan dipantau secara ketat, dan akan tercatat dalam buku-buku sejarah serta hati nurani internasional sebagai salah satu babak paling mengerikan dari tragedi kemanusiaan di abad ke-20 dan ke-21," pungkasnya.