Rupiah Tertekan Dolar AS: Jurus BI dan Sorotan Kebijakan Ekonomi

Nilai tukar rupiah tengah menghadapi tekanan berat dari dominasi dolar Amerika Serikat. Bank Indonesia (BI) mengambil langkah tegas untuk meredam gejolak ini.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan komitmen penuh untuk menjaga stabilitas rupiah. BI akan mengerahkan seluruh instrumen yang dimiliki secara agresif, baik di pasar domestik melalui transaksi spot, DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Intervensi juga dilakukan di pasar luar negeri, mencakup wilayah Asia, Eropa, dan Amerika Serikat melalui instrumen NDF.

Perry Warjiyo meyakini, dengan upaya terpadu ini, nilai tukar rupiah akan kembali stabil sesuai dengan fundamentalnya. Ia juga mengajak seluruh pelaku pasar untuk menciptakan iklim keuangan yang kondusif, demi tercapainya stabilitas nilai tukar rupiah yang optimal.

Pelemahan rupiah terhadap dolar AS terlihat jelas pada perdagangan Kamis (25/9), di mana nilai tukar dolar AS hampir mencapai level Rp 16.800.

Beberapa analis memberikan pandangan mengenai penyebab tekanan pada rupiah. Rupiah dinilai cukup kuat di awal tahun berkat intervensi dan suku bunga BI. Namun, pemangkasan suku bunga BI yang dilakukan beberapa kali dinilai mengejutkan investor. Pergantian Menteri Keuangan yang diikuti kebijakan fiskal yang lebih longgar dan stimulus, turut membebani rupiah.

Revisi UU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor mengenai independensi BI. Mandat bank sentral yang tak lagi hanya fokus pada inflasi dan nilai tukar dianggap bisa mengorbankan rupiah demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dampaknya dikhawatirkan memicu inflasi dan defisit anggaran yang lebih besar.

Langkah intervensi yang dilakukan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah berpotensi menggerus cadangan devisa. Karena itu, pemerintah disarankan untuk mengevaluasi kembali kebijakan ekonomi, termasuk meninjau anggaran untuk program makan bergizi gratis yang dinilai terlalu besar.

Pernyataan-pernyataan Menteri Keuangan yang dinilai kurang pro pasar, seperti penolakan terhadap program tax amnesty, juga turut memengaruhi sentimen pasar. Kebijakan tax amnesty yang sebelumnya diterapkan di era pemerintahan Jokowi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dinilai positif oleh pasar.

Scroll to Top