Rupiah Melemah: Dampak dan Konsekuensi Bagi Perekonomian Indonesia

Nilai tukar rupiah sedang mengalami tekanan terhadap dolar AS, membawa dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Pelemahan ini memicu serangkaian konsekuensi yang berpotensi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat dan dunia usaha.

Melemahnya rupiah menyebabkan biaya impor meningkat, sehingga harga barang-barang berpotensi menjadi lebih mahal. Masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk kebutuhan pokok.

Rupiah telah menembus level Rp16.700 per dolar AS, mencapai Rp 16.725 pada tanggal 26 September 2025. Meskipun mengalami sedikit penguatan sebesar 0,06% pada hari itu, mata uang Garuda ini berada di level terendahnya sejak April 2025.

Tekanan terhadap rupiah mulai terasa sejak Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada 20 Agustus 2025. Pelemahan berlanjut seiring dengan pemangkasan suku bunga lanjutan oleh BI di bulan September, bersamaan dengan kebijakan penurunan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed).

Berikut adalah dampak utama dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS:

1. Lonjakan Biaya Impor

Menguatnya dolar AS menjadi tantangan serius bagi perekonomian dalam negeri, terutama dari sektor impor. Sebagian besar transaksi impor Indonesia masih menggunakan dolar AS.

Ketika rupiah terdepresiasi, biaya impor otomatis meningkat. Pada tahun 2024, nilai impor Indonesia mencapai US$235,2 miliar, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$221,9 miliar. Kenaikan ini mencerminkan ketergantungan Indonesia terhadap barang-barang impor.

Beberapa komoditas utama yang diimpor Indonesia sulit digantikan oleh produksi dalam negeri. Salah satunya adalah gandum, dengan nilai impor mencapai US$3,9 miliar atau sekitar 10,9 juta ton pada tahun 2024. Indonesia tidak memproduksi gandum, sehingga kebutuhan pangan seperti mie instan, roti, dan produk olahan gandum bergantung sepenuhnya pada impor.

Jika rupiah terus melemah, harga produk olahan gandum berpotensi melonjak, memaksa masyarakat untuk mengeluarkan lebih banyak uang.

Selain gandum, kedelai juga merupakan komoditas penting. Impor kedelai pada tahun 2024 mencapai 2,67 juta ton dengan nilai US$1,40 miliar. Pelemahan rupiah akan menyebabkan harga produk turunan kedelai seperti tahu dan tempe ikut naik, memberikan dampak signifikan bagi masyarakat.

2. Tekanan pada Perusahaan yang Bergantung pada Impor

Pelemahan rupiah juga menekan perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor. Industri makanan dan minuman sangat bergantung pada gandum, kedelai, dan gula impor. Kenaikan biaya impor akan mengurangi margin keuntungan perusahaan karena biaya produksi meningkat. Jika perusahaan berusaha mempertahankan harga, keuntungan mereka akan menyusut.

Industri manufaktur lain seperti otomotif dan elektronik juga menghadapi tekanan. Banyak komponen penting masih diimpor, sehingga depresiasi rupiah akan meningkatkan biaya produksi.

Kondisi ini berisiko mengurangi daya saing produk dalam negeri, karena harga jual menjadi tidak kompetitif.

Perusahaan energi dan transportasi juga akan merasakan dampak serupa. Dengan tingginya porsi impor BBM dan LPG, perusahaan harus menanggung biaya tambahan yang besar. Kenaikan harga tiket transportasi bisa terjadi jika biaya tersebut dialihkan ke konsumen, atau perusahaan harus menanggung kerugian.

3. Peningkatan Utang Perusahaan

Pelemahan rupiah akan berdampak signifikan bagi perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS. Setiap rupiah terdepresiasi, jumlah rupiah yang harus disiapkan perusahaan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang dolar akan meningkat.

Kondisi ini dapat menekan arus kas, mengurangi ruang investasi, serta menurunkan profitabilitas perusahaan, terutama jika utang dalam jumlah besar dan jatuh tempo dalam waktu dekat.

Beberapa perusahaan besar dengan utang dalam denominasi dolar adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Modernland Realty Tbk (MDLN), dan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI).

Perusahaan-perusahaan ini berisiko menghadapi lonjakan beban pembayaran utang jika tren pelemahan rupiah terus berlanjut.

4. Ancaman Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Jika pelemahan rupiah berlanjut dan biaya impor semakin tinggi, pertumbuhan ekonomi nasional dapat tertekan. Konsumsi rumah tangga yang menjadi tulang punggung pertumbuhan dapat melemah karena daya beli menurun. Sektor industri yang terbebani biaya bahan baku impor berpotensi mengurangi kapasitas produksi, bahkan menunda ekspansi.

Investasi juga dapat terpengaruh. Investor asing mungkin menahan diri karena melihat risiko nilai tukar yang tinggi, sementara investor domestik menghadapi ketidakpastian biaya produksi. Potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula diproyeksikan stabil dapat terganggu.

Defisit neraca perdagangan berisiko melebar jika nilai impor tetap tinggi sementara ekspor tidak tumbuh sebanding. Kombinasi pelemahan rupiah, inflasi, penurunan daya beli, serta tekanan terhadap dunia usaha dapat menjadi beban besar bagi perekonomian nasional.

5. Beban Biaya Sekolah di Luar Negeri Meningkat

Pelemahan rupiah tidak hanya berdampak pada dunia usaha, tetapi juga dirasakan langsung oleh orang tua yang menyekolahkan anaknya di luar negeri. Beban biaya pendidikan otomatis membengkak karena kurs rupiah melemah terhadap mata uang utama dunia seperti dolar AS, euro, maupun poundsterling.

Biaya hidup dan pendidikan di luar negeri menjadi jauh lebih mahal.

Scroll to Top