Damaskus Bangkit: Kisah dari Balik Puing dan Peluang Baru di Suriah

Ibukota Suriah, Damaskus, menyimpan cerita pemulihan ekonomi di balik kemewahan hotel dan bekas luka perang. Harga kamar hotel yang melambung tinggi, mencapai 4 juta rupiah per malam dan hanya menerima pembayaran dolar, mengindikasikan tingginya permintaan seiring geliat ekonomi yang mulai bangkit.

Salah satu contohnya, Hotel Sheraton di Damaskus bersiap melakukan ekspansi besar. Hotel tua yang dibangun pada tahun 1976, masa awal pemerintahan diktator Al Assad, akan berganti nama menjadi Seven Pillars di bawah kepemilikan investor asal Dubai. Peralihan kepemilikan ini menandakan pengambilalihan aset dari penguasa lama oleh negara.

Keterbatasan jumlah hotel bintang lima di Damaskus menjadi tantangan tersendiri. Butuh waktu, setidaknya dua tahun, untuk menyeimbangkan antara ketersediaan kamar dan jumlah wisatawan yang datang.

Semangat untuk melupakan perang tampak mendominasi Damaskus. Namun, pemandangan kontras terlihat di luar ibukota. Perjalanan menuju Aleppo, kota terbesar di utara Suriah yang berbatasan dengan Turki, mengungkap sisa-sisa kehancuran akibat perang.

Perjalanan sejauh 500 km dari Damaskus ke Aleppo, ibarat perjalanan Makkah-Madinah, diwarnai pemandangan bangunan-bangunan yang porak-poranda. Kota-kota seperti Homes dan Hama menunjukkan tingkat kerusakan yang signifikan, menandakan wilayah tersebut menjadi pusat pemberontakan yang hebat.

Di Homes, Masjid Khalid bin Walid menjadi saksi bisu kehancuran di sekitarnya. Meskipun demikian, perbaikan telah dilakukan pada bagian-bagian masjid yang rusak.

Aleppo, kota yang strategis bagi pemberontak, juga mengalami kehancuran yang masif. Pengecualian justru terlihat pada Hotel Sheraton di Aleppo, yang tetap berdiri kokoh seolah tak tersentuh perang.

Khalid bin Walid, panglima perang yang berjasa mengislamkan Suriah, dimakamkan di dalam Masjid Khalid bin Walid. Dua nisan terdapat di makam tersebut, satu besar untuk Bin Walid dan satu kecil untuk anaknya.

Di Aleppo, kebab pinggir jalan menjadi santapan siang dengan harga 2 dolar Amerika per gulung. Uniknya, kembalian diberikan dalam mata uang Suriah yang menunjukkan nilai tukar yang sedikit lebih kuat dari Rupiah.

Kisah ini bukan hanya tentang kehancuran dan perang, tetapi juga tentang harapan, investasi, dan pembangunan kembali di Suriah. Sebuah negara yang berusaha bangkit dari keterpurukan dan menulis babak baru dalam sejarahnya.

Scroll to Top