Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 1 Tahun 2024 terkait Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4). Keputusan ini disambut baik oleh kuasa hukum pemohon, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, Todung Mulya Lubis, sebagai langkah positif bagi kebebasan berpendapat di Indonesia.
Todung menekankan bahwa putusan MK ini merupakan angin segar bagi demokrasi, yang membutuhkan kritik untuk berkembang. Ia berharap putusan ini mendorong organisasi, baik pemerintah maupun korporasi, untuk lebih terbuka terhadap kritik dan perbedaan pendapat.
Putusan MK ini diharapkan dapat mencegah UU ITE digunakan untuk membungkam kritik masyarakat terhadap pemerintah. Namun, Todung menyoroti bahwa putusan ini masih memberikan celah bagi tokoh publik untuk menggunakan Pasal 27A dan 45 ayat (4) untuk mempidanakan seseorang atas dugaan pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa frasa "orang lain" dalam Pasal 27A UU ITE bertentangan dengan UUD NRI 1945 jika tidak dimaknai secara terbatas, yaitu hanya berlaku untuk lembaga pemerintahan, kelompok dengan identitas spesifik, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.
Selain itu, MK juga mempersempit makna frasa "suatu hal" dalam dua pasal tersebut menjadi "suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang."
Lebih lanjut, MK membatasi interpretasi frasa "mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu." Frasa ini hanya berlaku jika informasi tersebut secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasarkan identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum, serta menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.