Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, akhirnya memberikan tanggapan terkait desakan agar mereka tidak lagi memegang kendali pemerintahan di Jalur Gaza.
Seorang tokoh senior Hamas, Ghazi Hamad, menyatakan bahwa mereka adalah bagian integral dari rakyat Palestina dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Meskipun demikian, Hamad menegaskan bahwa Hamas terbuka untuk tidak lagi memegang tampuk pemerintahan di Gaza. "Kami siap untuk keluar dari pemerintahan di Gaza. Kami tidak keberatan dengan hal itu," ujarnya.
Hamad juga menceritakan pengalamannya selamat dari serangan Israel di Qatar, menyebutnya sebagai "mukjizat" karena lokasi tempat tinggal mereka nyaris terkena rudal. Ia menuding Israel sengaja menargetkan tim negosiasi Hamas dengan tujuan membunuh mereka semua.
Hamas mengambil alih kekuasaan di Jalur Gaza dari Fatah pada Juni 2007, hingga pecahnya perang Gaza pada 7 Oktober 2023.
Desakan agar Hamas tidak dilibatkan dalam pemerintahan Palestina muncul dalam proposal yang diajukan oleh Presiden Amerika Serikat kepada para pemimpin negara Arab dan mayoritas Muslim. Proposal tersebut, yang berisikan pengaturan pascaperang, disampaikan di sela-sela Sidang Umum PBB.
Laporan dari media Israel menyebutkan bahwa usulan tersebut mencakup pembentukan pemerintahan Palestina tanpa Hamas, pembentukan pasukan gabungan dari warga Palestina dan pasukan dari negara-negara Arab dan Muslim, serta pendanaan dari negara-negara Arab dan Islam untuk rekonstruksi Gaza.
Proposal tersebut juga menyerukan pembebasan segera semua sandera dalam waktu 48 jam.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tetap bersikeras untuk melanjutkan operasi militer guna membebaskan sandera dan menghancurkan Hamas, agar Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel.