Singapura Mendesak PBB Batasi Penggunaan Hak Veto Demi Reformasi Inklusif

New York – Singapura menyampaikan seruan penting kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meninjau ulang dan membatasi penggunaan hak veto oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan. Langkah ini dipandang krusial demi mewujudkan reformasi PBB yang lebih inklusif dan relevan dengan dinamika global saat ini.

Menteri Luar Negeri Singapura dalam Sidang Umum PBB di New York menyoroti bahwa hak veto kerap digunakan di tengah meningkatnya konflik dunia. Ia menekankan perlunya kesepakatan di antara anggota PBB mengenai batasan penggunaan hak istimewa ini.

Singapura berpendapat bahwa PBB perlu beradaptasi dengan perubahan dunia yang signifikan selama 80 tahun terakhir. Reformasi yang mendalam dibutuhkan agar PBB tetap relevan dalam mencapai tujuan-tujuannya. Hal ini mencakup representasi yang lebih adil dan inklusif yang mencerminkan realitas global terkini.

Lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto adalah Tiongkok, Prancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Hak ini memungkinkan salah satu dari mereka untuk menggagalkan resolusi apa pun, meskipun resolusi tersebut mendapat dukungan luas dari anggota PBB lainnya.

Baru-baru ini, Amerika Serikat menggunakan hak vetonya untuk memblokir resolusi yang menyerukan gencatan senjata di Gaza, Palestina, dengan alasan resolusi tersebut tidak mengutuk Hamas atau mengakui hak Israel untuk membela diri. Tindakan ini terjadi meskipun 14 anggota DK PBB lainnya mendukung resolusi tersebut.

Singapura juga menyerukan hubungan yang lebih erat antara Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB. Negara ini telah berulang kali menekankan perlunya reformasi dewan, termasuk pembatasan penggunaan hak veto. Seruan ini semakin mendesak seiring dengan peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II.

Singapura menegaskan bahwa tatanan dunia pasca-perang telah mengalami perubahan mendasar. Distribusi kekuatan ekonomi, kemajuan teknologi, dan kekuatan militer saat ini jauh berbeda dibandingkan tahun 1945.

Negara ini juga menyoroti erosi rasa hormat terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB, pelanggaran hukum internasional dan hukum humaniter, serta pelanggaran kedaulatan dan integritas wilayah. Konflik di Timur Tengah, Ukraina, dan sebagian Afrika adalah cerminan dari tragedi yang terjadi.

Singapura menyatakan akan mempertimbangkan kembali posisinya dalam mengakui negara Palestina jika Israel mengambil langkah lebih lanjut yang menghambat solusi dua negara.

Scroll to Top