Desakan Penghapusan Hak Veto PBB Menguat: Momentum Reformasi di Tengah Konflik Global

New York – Gelombang desakan untuk mencabut hak veto yang dimiliki oleh lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB (DK PBB) semakin menguat. Hak istimewa ini dianggap usang dan tidak lagi relevan dengan dinamika dunia saat ini.

Malaysia menjadi salah satu negara yang lantang menyuarakan aspirasi ini. Dalam Sidang Majelis Umum PBB (UNGA) ke-80 tahun 2025, Malaysia menyerukan agar PBB menjatuhkan sanksi terhadap Israel, serta membatasi atau bahkan menghapuskan hak veto.

Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Mohamad Hasan, menegaskan bahwa kebrutalan rezim Zionis di Timur Tengah tidak boleh dibiarkan berlanjut. Menurutnya, konflik di Palestina hanyalah awal dari masalah yang lebih besar yang dapat berdampak global. Oleh karena itu, solusi dua negara saja tidak cukup.

Malaysia berkomitmen untuk terus mendukung rakyat Palestina melalui berbagai cara, termasuk Deklarasi New York. Tindakan nyata harus diambil untuk melawan penjajahan dan mempersiapkan pembangunan negara Palestina yang merdeka.

Mohamad Hasan menyoroti bahwa PBB seolah membiarkan kekejaman Israel selama ini. Ia mengingatkan bahwa kredibilitas PBB dipertaruhkan jika masalah Palestina tidak dapat diselesaikan.

Reformasi PBB menjadi agenda penting yang disuarakan Malaysia. Tiga reformasi mendesak yang dianggap kunci adalah pembatasan atau penghapusan hak veto, pengembalian kewenangan ke Majelis Umum sebagai badan yang paling inklusif, dan perancangan ulang mekanisme pendanaan global yang lebih transparan dan adil bagi negara berkembang.

Malaysia mendesak PBB untuk menuntut akuntabilitas dari anggota tetap DK PBB melalui Resolusi 76/272, serta mengambil tindakan tegas jika DK PBB gagal memenuhi kehendak Majelis Umum melalui Resolusi 377A.

Singapura turut menyuarakan hal senada. Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, dalam Sidang Umum PBB di New York, meminta agar penggunaan hak veto dievaluasi dan dibatasi. Ia menyoroti peningkatan penggunaan hak veto di tengah konflik yang semakin meluas.

Balakrishnan menekankan perlunya reformasi PBB agar sesuai dengan perkembangan dunia. Distribusi kekuatan ekonomi, teknologi, dan militer saat ini jauh berbeda dengan tahun 1945.

Singapura juga menyoroti tragedi kemanusiaan di Timur Tengah, Ukraina, dan sebagian Afrika. Negara itu akan mempertimbangkan kembali posisinya dalam mengakui negara Palestina jika Israel terus menggagalkan solusi dua negara.

Desakan reformasi PBB ini muncul di tengah peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II, menandakan momentum krusial untuk menata kembali tatanan dunia yang lebih adil dan representatif.

Scroll to Top