Otoritas Palestina menerima angin segar berupa dukungan finansial dari 12 negara yang tergabung dalam sebuah koalisi baru. Inisiatif ini lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi yang kian terpuruk akibat penahanan pendapatan pajak oleh Israel.
Koalisi yang dinamai "Koalisi Darurat untuk Keberlanjutan Keuangan Otoritas Palestina" ini dibentuk untuk mengatasi krisis keuangan mendesak. Stabilitas regional dan keberlanjutan solusi dua negara menjadi alasan utama pembentukan koalisi ini.
Bantuan dari koalisi diharapkan dapat menstabilkan keuangan Otoritas Palestina. Layanan publik vital seperti kesehatan dan pendidikan dapat terus berjalan. Pemerintah di Ramallah juga dapat mempertahankan keberlangsungan, serta menjaga keamanan dan stabilitas di wilayah tersebut.
Negara-negara anggota koalisi berharap dukungan ini akan membantu Palestina bertahan dari tekanan politik dan ekonomi yang semakin berat.
Siapa Saja Anggota Koalisi Penyelamat Palestina?
Berikut adalah 12 negara yang tergabung dalam koalisi ini:
- Inggris
- Prancis
- Jepang
- Arab Saudi
- Spanyol
- Belgia
- Denmark
- Islandia
- Irlandia
- Norwegia
- Slovenia
- Swiss
Negara-negara ini berkomitmen untuk memberikan bantuan finansial berkelanjutan, melanjutkan dukungan signifikan yang telah diberikan sebelumnya.
Pembentukan koalisi ini diumumkan setelah sejumlah negara sekutu Amerika Serikat, termasuk Prancis dan Inggris, secara resmi mengakui Palestina sebagai negara di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Perdana Menteri Palestina, Mohammad Mustafa, mengumumkan bahwa total bantuan awal yang dijanjikan mencapai US$ 170 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun. Arab Saudi menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi sebesar US$ 90 juta (sekitar Rp 1,5 triliun).
Namun, negara-negara anggota koalisi menyadari bahwa bantuan jangka pendek saja tidak cukup. Mereka akan bekerja sama dengan lembaga keuangan internasional dan mitra global lainnya untuk memobilisasi sumber daya tambahan, mendorong reformasi ekonomi, dan memastikan transparansi penggunaan dana.
Mengapa Palestina Alami Krisis Keuangan?
Kondisi keuangan Palestina erat kaitannya dengan Protokol Paris 1994. Protokol ini memberi Israel wewenang untuk memungut pajak atas nama Palestina. Namun, sejak konflik Gaza pada Oktober 2023, Israel mulai menahan dana tersebut.
Situasi diperparah dengan tindakan Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, yang menghentikan seluruh transfer pajak beberapa bulan lalu. Ia bahkan menyatakan niatnya untuk memperlemah Otoritas Palestina melalui "pencekikan ekonomi" guna menggagalkan pembentukan negara Palestina.
Akibat kebijakan ini, layanan publik di Palestina mengalami penurunan drastis, dan angka kemiskinan meningkat tajam.