Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VI DPR RI memanas ketika anggota dewan, Kawendra Lukistian, secara lantang mempertanyakan penyebab kelangkaan emas Antam yang sempat terjadi. Ia bahkan sampai menggebrak meja, menunjukkan kekesalannya atas penjelasan Direktur Utama Antam, Achmad Ardianto.
Kawendra menduga adanya praktik tidak beres dalam distribusi emas Antam. Ia menyoroti sulitnya mendapatkan stok emas, yang menurutnya hanya tersedia sekitar 20%. Kondisi ini, menurutnya, memicu spekulasi harga dan berkontribusi terhadap inflasi yang tidak terkendali. "Kalau begini kan permainan, nunggu harga naik segala macam," tegasnya.
Menanggapi tudingan tersebut, Dirut Antam membantah keras. Ia menjelaskan bahwa ketersediaan emas Antam sangat bergantung pada pesanan. Perusahaan tidak memiliki kapasitas penyimpanan yang memadai jika tidak ada kepastian penjualan. Akar masalahnya terletak pada keterbatasan modal kerja.
Achmad Ardianto menjelaskan bahwa harga emas yang tinggi membuat Antam tidak mungkin menyimpan emas dalam jumlah besar tanpa jaminan pembeli. Ia menegaskan bahwa setiap stok emas yang ada akan segera dilepas ke pasar. Sistem penjualan Antam juga melibatkan peran besar dari perusahaan mitra atau wholesaler yang memiliki modal untuk membeli dan mendistribusikan emas ke toko-toko emas. Sekitar 70% penjualan emas Antam dilakukan melalui mekanisme ini.
Stok emas yang dikelola langsung oleh Antam hanya sekitar 30% dari total penjualan. Jumlah ini pun langsung didistribusikan ke 15 butik Antam yang tersebar di seluruh Indonesia. Meskipun permintaan emas dari masyarakat tinggi, modal kerja Antam terbatas untuk memenuhi seluruh permintaan tersebut.
Lebih lanjut, Dirut Antam mengungkapkan bahwa produksi emas dari tambang Pongkor, Jawa Barat, hanya mampu menghasilkan 1 ton emas per tahun. Sementara itu, penjualan emas Antam mencapai 37 ton pada tahun 2024 dan diproyeksikan meningkat menjadi 43-45 ton pada tahun ini.