Jakarta – Iran kembali menghadapi tekanan ekonomi yang meningkat seiring dengan diberlakukannya kembali sanksi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait program nuklirnya. Sanksi ini otomatis aktif kembali setelah negara-negara Eropa yang terlibat dalam perjanjian nuklir Iran 2015 mengaktifkan mekanisme "snapback".
Sanksi yang diberlakukan meliputi embargo senjata, pembekuan aset, larangan perjalanan, serta sanksi di bidang nuklir, rudal, dan perbankan. Dampaknya diperkirakan akan meluas ke seluruh sektor ekonomi Iran yang sudah tertekan, dan dirasakan oleh sebagian besar penduduk.
Kondisi regional Iran yang tidak stabil memicu kekhawatiran akan potensi serangan militer lanjutan dari Israel dan Amerika Serikat. Sebelumnya, kedua negara tersebut pernah melancarkan serangan yang menargetkan fasilitas pengayaan nuklir Iran, menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian ekonomi yang signifikan.
Beberapa warga Iran khawatir bahwa Israel akan memanfaatkan sanksi ini sebagai alasan untuk melakukan serangan lagi, mengingat resolusi yang dikeluarkan oleh badan pengawas nuklir global pada bulan Juni sebelumnya telah dijadikan dalih untuk aksi militer.
Di tengah situasi ini, pedagang di Grand Bazaar Teheran mengungkapkan kekhawatirannya akan dampak sanksi terhadap harga barang impor dan daya beli masyarakat. Sementara itu, kelompok garis keras di Teheran justru menyambut baik pemberlakuan kembali sanksi PBB, karena dianggap sebagai akhir dari perjanjian nuklir yang selama ini mereka tolak.
Kehakiman Iran juga mengeluarkan peringatan kepada media terkait pemberitaan mengenai penerapan kembali sanksi, dengan ancaman tindakan hukum jika dianggap mengganggu stabilitas psikologis masyarakat.
Mekanisme Snapback: Upaya Menghukum Iran?
Proses snapback merupakan bagian dari perjanjian nuklir, yang bertujuan untuk menghukum Iran jika melanggar batasan yang ditetapkan untuk menjamin program nuklirnya damai. Namun, Iran, China, dan Rusia berpendapat bahwa mekanisme ini telah disalahgunakan oleh Barat, terutama setelah Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian tersebut pada tahun 2018.
Iran secara bertahap mulai meninggalkan pembatasan hanya setahun setelahnya, tetapi tetap bersikeras tidak akan pernah berupaya membuat bom nuklir. Meskipun pengayaan uranium Iran telah mencapai 60%, negara tersebut membantah tuduhan dari Israel dan AS yang menyebutkan adanya upaya pembuatan bom.
Nasib uranium yang diperkaya tinggi dan kerusakan pada fasilitas nuklir bawah tanah Iran pasca-serangan masih belum jelas, terutama setelah Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) ditolak aksesnya ke sebagian besar lokasi tersebut.