Diplomasi Indonesia di Balik Euforia Suriah: Kisah Duta Besar dan Bantuan untuk Negeri yang Bangkit

Kala euforia melanda Suriah pasca-pergantian rezim, Duta Besar Indonesia untuk Suriah, Wajid Fauzi, menghadapi tekanan untuk segera memberikan pernyataan pengakuan terhadap pemerintahan baru. Namun, dengan bijak, Wajid berpegang pada prinsip: Indonesia mengakui negara Suriah, bukan pemerintahannya.

Pendekatan ini terbukti jitu. Wajid justru diterima dengan hangat oleh Presiden baru, Ash Sharaa. Misi pemulangan tenaga kerja Indonesia berjalan lancar, bahkan perbedaan pandangan politik beberapa WNI tidak menghambat hubungan baik kedua negara.

Saya menjadi saksi betapa eratnya hubungan itu. Kunjungan mendadak saya ke Suriah difasilitasi dengan luar biasa. Di hari kedua, saya sudah bisa bertemu dengan Menteri Energi, Mohamed Al Bashir, sosok penting yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri pertama pasca-Assad. Pertemuan ini mustahil terjadi tanpa hubungan baik antara Dubes Wajid dan pemerintahan baru.

Bashir, yang dulunya adalah tokoh pemberontak, berperan penting dalam menggalang kekuatan politik untuk memilih Ash Sharaa sebagai presiden. Meskipun berstatus sementara, kekuasaan Ash Sharaa penuh. Prioritas utama adalah pemulihan ekonomi setelah perang sipil 14 tahun. Masyarakat pun tampak puas, terbukti dengan sambutan meriah saat Ash Sharaa berpidato di PBB di New York.

Peningkatan gaji pegawai negeri hingga lima kali lipat dan bantuan dari negara-negara tetangga, termasuk Turkiye dan Arab Saudi, menjadi angin segar bagi Suriah. Arab Saudi memberikan bantuan minyak mentah yang sangat besar, menghidupkan kembali kilang-kilang Suriah dan memungkinkan produksi BBM sendiri.

Sebelumnya, bisnis minyak dikuasai oleh kroni Assad, sementara sumur-sumur minyak di wilayah pemberontak dijual secara gelap untuk mendanai pemberontakan. Ironisnya, para pedagang minyak, yang dikenal piawai menjalin hubungan dengan semua pihak, menjual minyak dari pemberontak ke kilang pemerintah Assad. Pemerintah mendapatkan uang untuk memerangi pemberontak, sementara pemberontak mendapatkan uang dari pemerintah untuk menggulingkannya.

Bashir, dengan jiwa negarawan yang luar biasa, memilih Ash Sharaa sebagai presiden dan kemudian mengundurkan diri sebagai perdana menteri untuk menghindari matahari kembar dalam pemerintahan. Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Energi dan melakukan restrukturisasi kementerian untuk meningkatkan efisiensi.

Pertemuan saya dengan Menteri Bashir berlangsung singkat namun berkesan. Kesan mendalam terhadap sosoknya dan kepercayaan pemerintah Suriah terhadap Indonesia sangat terasa. Bahkan, rombongan kami tidak perlu melewati detektor di gedung kementerian.

Kunjungan ini juga memberikan pengalaman unik bagi saya. Karena tidak membawa baju berkerah, saya meminjam batik dari Dubes Wajid. Batik itu kemudian saya pakai tidak hanya saat bertemu dengan Kamar Industri Suriah, tetapi juga saat menghadiri forum ekonomi di Lebanon. Sebuah bukti betapa saktinya batik, yang tipis namun dianggap resmi.

Scroll to Top