Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI menjadi noda hitam dalam lembaran sejarah Indonesia. Tragedi 1965 ini merenggut nyawa sejumlah perwira tinggi TNI AD dan meninggalkan trauma mendalam bagi bangsa.
Lebih dari setengah abad berlalu, misteri di balik G30S PKI masih terus diperdebatkan. Pertanyaan tentang siapa dalang sebenarnya tak pernah benar-benar terjawab.
Peristiwa ini menjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Indonesia. Enam jenderal TNI AD diculik dan dibunuh dalam semalam, jasad mereka ditemukan di sumur tua yang dikenal sebagai ‘Lubang Buaya’.
Kejadian singkat ini memicu perubahan politik besar, menandai jatuhnya Presiden Soekarno dan munculnya Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Sebelum G30S PKI, pemerintah membubarkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dua partai yang menjadi pesaing PKI. Hal ini memperkuat posisi PKI dalam merekrut anggota.
Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) pun kian terdesak, mendorong PKI untuk berambisi menduduki kursi kabinet pemerintahan.
Namun, perseteruan antara PKI dan TNI AD membuat posisi PKI menjadi sulit. Hingga akhirnya, petinggi PKI bergerak pada 28 September 1965, berupaya merebut kekuasaan pada malam 30 September 1965.
Kronologi Singkat G30S PKI
Awal 1960-an, Indonesia berada dalam pusaran politik yang kompleks. Presiden Soekarno menerapkan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) untuk merangkul berbagai kekuatan politik.
Konsep Nasakom, yang dicetuskan Soekarno pada tahun 1926, kembali digaungkan pada tahun 1956. Soekarno mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dinilai tidak cocok untuk Indonesia.
Dalam konteks ini, PKI semakin kuat berkat dukungan Soekarno. Namun, kekuatan PKI yang meningkat membuat Angkatan Darat, khususnya para jenderal, merasa terancam.
Ketidakharmonisan hubungan antara TNI AD dan PKI semakin memanas. Isu tentang adanya Dewan Jenderal yang diduga merencanakan kudeta terhadap Soekarno menambah ketegangan politik.
Gagasan untuk "menyelamatkan presiden" muncul. Di sisi lain, PKI khawatir dengan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang memburuk.
Pertentangan ini memuncak ketika kondisi kesehatan Soekarno menurun, hingga terjadilah G30S PKI pada 30 September 1965.
PKI, di bawah pimpinan DN Aidit, menculik para jenderal dan perwira tinggi untuk melemahkan kekuatan militer Indonesia.
Pasukan yang dipimpin Letkol Untung bergerak dari markas mereka di Lubang Buaya, dibagi menjadi tim-tim penculik yang bertugas mendatangi rumah para jenderal.
Enam jenderal berhasil ditangkap: Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen R. Suprapto, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo.
Jenderal A.H. Nasution lolos, namun putrinya, Ade Irma Suryani, tewas tertembak, dan ajudannya, Pierre Tendean, ikut diculik.
Para jenderal yang ditangkap dibawa ke Lubang Buaya, dibunuh, dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur tua.
Pada 1 Oktober, pasukan G30S menguasai RRI dan mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi Indonesia. Mereka mengklaim gerakan ini bertujuan menggagalkan kudeta Dewan Jenderal.
Setelah membunuh para perwira tinggi, PKI menguasai RRI untuk mengumumkan Dekrit no.1, yang menyatakan bahwa G30S adalah upaya menyelamatkan negara dari dewan jenderal yang ingin mengambil alih negara.
Namun, Mayjen Soeharto, Panglima Kostrad, dengan sigap mengambil alih komando, menguasai kembali Jakarta, dan melumpuhkan pasukan G30S.
Pada 3 Oktober 1965, jenazah para jenderal ditemukan di Lubang Buaya dan diperlihatkan ke publik. PKI dituding sebagai dalang utama peristiwa G30S.
Soeharto melancarkan operasi pembersihan terhadap anggota dan simpatisan PKI.
Pembantaian massal terjadi di berbagai daerah, menewaskan ratusan ribu orang. Tragedi ini menjadi salah satu pelanggaran HAM terbesar pada abad ke-20.
Kekuasaan politik Soekarno melemah, hingga akhirnya digantikan oleh Soeharto. Sistem pemerintahan Orde Baru lahir, ditandai dengan terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Soeharto memimpin Orde Baru selama lebih dari tiga dekade.
Tujuan G30S PKI
Tujuan G30S PKI antara lain:
- Mengkudeta pemerintahan Presiden Soekarno.
- Menghancurkan NKRI dan menjadikannya negara komunis.
- Menyingkirkan TNI Angkatan Darat dan merebut kekuasaan pemerintahan.
- Mengkomuniskan Indonesia dan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis.
- Mewujudkan cita-cita ideologi komunis untuk membentuk pemerintah komunis.
- Usaha tersebut dilakukan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi.
- Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan komunisme internasional.
Pada 12 Maret 1966, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 perihal pembubaran PKI, menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Kontroversi dan Teori Dalang G30S PKI
DN Aidit dianggap bertanggung jawab atas tragedi ini. Ia adalah ketua Central Committee (CC) PKI.
Pada 1965, PKI menjadi partai besar no 4 di Indonesia. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia menggunakan sistem Demokrasi Terpimpin.
PKI mendominasi di berbagai bidang dan ingin mendirikan pemerintahan komunis yang berkiblat ke Republik Rakyat Cina (RRC), namun usulan ini gagal.
PKI meniupkan isu bahwa dewan jenderal di tubuh TNI AD tengah mempersiapkan kudeta, memicu berbagai pemberontakan hingga puncaknya pada 30 September 1965.
Isu keterlibatan Soeharto menjadi isu sentral dalam peristiwa G30S/PKI, meskipun tidak ada bukti keterlibatan aktifnya dalam aksi penculikan.
Soeharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Penelitian ilmiah mengungkap kemungkinan keterlibatan Soeharto dan CIA.
Sejarah G30S/PKI penuh dengan misteri dan manipulasi informasi. Propaganda Orde Baru menempatkan PKI sebagai dalang tunggal, namun sejarawan menilai ada kemungkinan keterlibatan unsur militer internal maupun faktor eksternal.
Sejarah G30S/PKI menjadi catatan kelam bangsa yang berawal dari perebutan kekuasaan politik, kemudian berkembang menjadi tragedi kemanusiaan. Dari peristiwa ini, Indonesia memasuki era baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
G30S/PKI menjadi salah satu titik balik penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya soal penculikan dan pembunuhan jenderal, tapi juga awal perubahan besar dalam arah politik bangsa.