Perdagangan Satwa Liar Online: Ancaman Nyata Keanekaragaman Hayati Indonesia

Perdagangan satwa liar ilegal di dunia maya mencapai titik mengkhawatirkan. Lebih dari 70.000 iklan penawaran satwa terdeteksi di media sosial, khususnya Facebook, antara tahun 2020 hingga 2024. Garda Animalia mencatat bahwa burung beo, kakatua, elang, kucing hutan, owa, dan siamang menjadi incaran utama, dipicu oleh tren pemeliharaan eksotis yang dipopulerkan oleh tokoh media sosial dan kemudahan transaksi daring.

Platform digital kini menjadi lahan subur bagi kejahatan lingkungan. Lemahnya regulasi digital, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang belum secara eksplisit melarang perdagangan satwa liar di platform online, memperparah situasi ini. Data menunjukkan lebih dari 18.000 iklan satwa dilindungi muncul antara 2018 hingga 2023, dengan sekitar 82.000 individu kakatua menghilang dari habitat aslinya, melibatkan lebih dari 6.000 akun pembeli. Ancaman ini tidak hanya merusak keanekaragaman hayati, tetapi juga menormalisasi eksploitasi satwa melalui konten sensasional di media sosial.

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mengkategorikan perdagangan satwa liar sebagai kejahatan transnasional yang berkembang, menekankan perlunya pendekatan hukum lintas sektor. Tanpa intervensi segera, satwa liar Indonesia, bagian penting dari warisan ekologis global, terancam punah di tangan pasar ilegal yang semakin tak terkendali. Edukasi publik dan penegakan hukum yang lebih tegas menjadi sangat penting untuk membalikkan tren ini.

Kehilangan Habitat: Akar Masalah Perdagangan

Kehilangan habitat akibat deforestasi, ekspansi pertanian, dan pembangunan infrastruktur menjadi pendorong utama satwa liar masuk ke pasar perdagangan ilegal. Hutan-hutan primer, rumah bagi spesies seperti owa, siamang, dan kucing hutan, terus menyusut, memaksa satwa keluar dari lingkungan alaminya dan menjadi sasaran empuk perburuan.

Permintaan pasar pada perdagangan burung sangat dipengaruhi oleh tren pemeliharaan yang beredar di masyarakat. Satwa yang kehilangan habitat lebih mudah dieksploitasi. Tren pemeliharaan satwa eksotis, yang dipicu oleh konten media sosial, memperburuk situasi. Video yang menampilkan monyet ekor panjang disiksa atau burung eksotis dipamerkan menciptakan persepsi keliru bahwa satwa liar mudah dirawat. Media sosial secara tidak langsung telah menormalisasi kepemilikan satwa liar. Kurangnya kesadaran publik tentang risiko zoonosis dari memelihara satwa liar turut memperparah masalah.

Fluktuasi Perdagangan di Facebook: Sorotan pada Burung Beo

Perdagangan satwa liar di media sosial, khususnya Facebook, menunjukkan pola fluktuatif namun mengkhawatirkan selama 2020–2024, dengan burung beo (Psittacidae) mendominasi pasar ilegal. Puncak perdagangan terjadi pada 2022, dengan iklan beo mencapai 14.280. Meskipun ada fluktuasi, tahun 2024 menunjukkan beo tetap dominan dengan 3.496 iklan. Selain Facebook, aktivitas perdagangan juga terpantau di platform seperti TikTok dan e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, OLX, dan Bukalapak, meskipun tidak seintensif di Facebook.

Peran Media Sosial dan Pengaruh Tokoh Publik

Media sosial telah menjadi pemicu utama dalam perdagangan satwa liar, dengan konten influencer yang memamerkan satwa eksotis sebagai hewan peliharaan memperburuk situasi. Ketika hewan-hewan eksotis ditampilkan sebagai makhluk lucu, banyak orang menjadi tergoda untuk memilikinya. Kemudahan akses transaksi daring, seperti melalui grup jual beli di Facebook, turut memperparah masalah. Kerahasiaan transaksi membuat pelacakan semakin sulit.

Payung Hukum dan Solusi: Perlu Tindakan Tegas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang KSDAHE menjadi langkah progresif, namun implementasinya masih lemah. UU ITE masih belum mempertimbangkan kejahatan terhadap satwa liar di ruang digital. Pendekatan hukum multidoor yang mengintegrasikan berbagai UU diusulkan untuk menutup celah hukum. Solusi lain mencakup penguatan UU ITE, peningkatan patroli siber, dan edukasi publik tentang risiko zoonosis serta dampak ekologis. Platform media sosial harus menerapkan kebijakan yang lebih tegas terhadap konten bermasalah. Kolaborasi antara pemerintah, LSM, influencer, dan platform digital krusial untuk menciptakan ekosistem daring yang mendukung konservasi.

Scroll to Top