Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi XII DPR dan PT Pertamina (Persero) bersama sejumlah pengelola SPBU swasta mengungkap fakta menarik. Dua perusahaan SPBU, yaitu Vivo dan BP-AKR, memutuskan untuk tidak jadi membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Pertamina. Alasan utama penolakan ini adalah kandungan etanol sebesar 3,5 persen dalam BBM tersebut, yang dinilai terlalu tinggi.
Menurut keterangan dari Wakil Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Pertamina sebenarnya telah mengalokasikan kuota impor khusus bagi badan usaha swasta. Kuota tersebut meliputi 1,2 juta kiloliter untuk BBM RON 92 dan 270 ribu kiloliter untuk BBM RON 98.
Awalnya, setelah melalui serangkaian koordinasi dan negosiasi, Vivo dan BP-AKR menunjukkan minat untuk membeli base fuel dari Pertamina. Base fuel ini merupakan BBM dasar tanpa tambahan pewarna dan zat aditif. Bahkan, pada tanggal 26 September, Vivo menyatakan kesepakatan untuk membeli 40 ribu barel base fuel.
Namun, situasi berubah drastis. Pada malam tanggal 26 September, Vivo dan BP-AKR secara mendadak membatalkan niat pembelian mereka. Sementara itu, Shell memilih untuk tidak melanjutkan proses negosiasi dengan alasan masalah administrasi internal.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa alasan utama pembatalan pembelian oleh Vivo dan BP-AKR adalah kandungan etanol dalam BBM impor Pertamina. Meskipun regulasi pemerintah memperbolehkan kandungan etanol hingga 20 persen, keberadaan etanol 3,5 persen menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan-perusahaan SPBU swasta tersebut untuk membatalkan pembelian.
Meskipun demikian, terdapat harapan baru. Perusahaan-perusahaan SPBU swasta menyatakan kesediaan untuk melanjutkan negosiasi apabila terdapat kargo lain dengan spesifikasi yang sesuai, di luar kargo MT Sakura yang mengangkut 100.000 barel BBM dengan kandungan etanol 3,5 persen. Mereka menekankan bahwa kualitas dan kandungan BBM harus sesuai dengan karakteristik produk yang mereka miliki.