Gagal Ginjal Kronis: Ancaman Tersembunyi yang Merajalela di Indonesia

Gagal ginjal kronis (GGK) menjadi permasalahan kesehatan yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia. Peningkatan signifikan jumlah pasien yang memerlukan tindakan cuci darah atau terapi pengganti ginjal mengindikasikan urgensi penanganan penyakit ini.

Seringkali, penderita GGK tidak menyadari kondisi mereka karena gejala awal yang samar atau bahkan tidak ada sama sekali. Inilah mengapa GGK dijuluki sebagai "pembunuh diam-diam" (silent killer), penyakit yang berkembang tanpa disadari hingga mencapai stadium lanjut dan berakibat fatal.

Data Riskesdas Kementerian Kesehatan RI menunjukkan prevalensi GGK di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 713.783 jiwa, atau 0,25% dari total populasi. Prevalensi ini lebih tinggi pada pria (0,3%) dibandingkan wanita (0,2%). Berdasarkan kelompok usia, prevalensi tertinggi ditemukan pada usia di atas 75 tahun (0,6%), dengan peningkatan signifikan mulai usia 35 tahun ke atas.

Ironisnya, GGK yang dulu didominasi lansia, kini mulai menyerang usia produktif. Proporsi pasien usia 25-34 tahun yang menjalani hemodialisis (cuci darah) akibat GGK melonjak menjadi 31,4% pada tahun 2023.

GGK adalah penurunan fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari tiga bulan, ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) di bawah 60 ml/menit/1,73 m². Kondisi ini disebabkan oleh kerusakan struktural atau fungsional ginjal yang bersifat progresif dan tidak dapat disembuhkan total.

Beberapa faktor risiko yang dapat memicu GGK meliputi obesitas, kadar gula darah tinggi, dan tekanan darah tinggi, yang dapat merusak pembuluh darah ginjal. Proses penuaan dan penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) jangka panjang juga dapat menurunkan fungsi ginjal.

Secara global, GGK merupakan masalah kesehatan utama. Pada tahun 2017, penyakit ginjal kronis menyebabkan sekitar 1,23 juta kematian. Bahkan sekitar 1,36 juta kematian terkait penyakit kardiovaskular diakibatkan oleh gangguan fungsi ginjal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat GGK sebagai penyebab kematian ke-10 tertinggi pada tahun 2021.

GGK mengakibatkan penumpukan limbah, cairan, dan gangguan keseimbangan mineral elektrolit dalam tubuh. Hal ini mengganggu metabolisme dan memengaruhi berbagai organ vital. Penumpukan limbah dan cairan dapat menyebabkan pembengkakan, sedangkan penumpukan limbah nitrogen dalam darah dapat menimbulkan mual, muntah, dan kejang. Ketidakseimbangan mineral kalsium dan fosfor dapat mempengaruhi kesehatan tulang.

Komplikasi serius GGK meliputi penyakit jantung dan pembuluh darah, kesulitan mengendalikan tekanan darah, penurunan produksi sel darah merah, penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh (meningkatkan risiko infeksi), serta kecemasan dan depresi berat. Oleh karena itu, penderita GGK memerlukan terapi pengganti ginjal.

Manajemen GGK meliputi terapi dialisis (hemodialisis atau dialisis peritoneal) untuk menggantikan fungsi ginjal, serta farmakoterapi seperti ACE inhibitor atau ARB untuk mengontrol tekanan darah dan melindungi ginjal. Terapi lain meliputi agen perangsang eritropoiesis (ESA) untuk mengatasi anemia, pengikat fosfat dan suplemen vitamin D untuk mengelola gangguan metabolisme mineral-tulang, serta diuretik untuk mengurangi kelebihan cairan pada tahap awal.

Transplantasi ginjal merupakan pilihan terbaik untuk meningkatkan kualitas hidup pasien GGK, meskipun memerlukan penggunaan imunosupresan jangka panjang. Pemilihan terapi GGK harus bersifat holistik dan individual, sesuai dengan stadium penyakit dan kondisi klinis pasien.

Pencegahan GGK dapat dilakukan dengan mengelola tekanan darah, berolahraga teratur, membatasi konsumsi garam, kalium, dan fosfat, melakukan check-up berkala, tidak merokok dan mengonsumsi alkohol, serta mengurangi konsumsi makanan dan minuman manis.

Pemerintah dan otoritas kesehatan perlu meningkatkan akses informasi dan literasi masyarakat tentang kesehatan ginjal dan kandungan gizi makanan dan minuman. Perbaikan pelayanan kesehatan bagi pasien cuci darah juga diperlukan untuk mengatasi kesenjangan di berbagai daerah.

Kepatuhan terhadap pengobatan, terapi dialisis yang teratur, dan gaya hidup sehat terbukti meningkatkan kualitas dan harapan hidup penderita GGK. Strategi pengobatan yang optimal (medis dan psikososial), motivasi diri yang kuat, serta dukungan keluarga memungkinkan penderita GGK lebih produktif dan menjalani hidup bermakna.

Scroll to Top