QRIS Diprotes AS: Ancaman bagi Visa dan Mastercard?

Laporan terbaru dari Amerika Serikat (AS) mengkritik implementasi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) di Indonesia. AS merasa tidak dilibatkan dalam pengembangan kedua sistem pembayaran digital tersebut. Perusahaan perbankan AS juga mengeluhkan kurangnya transparansi dan kesempatan untuk memberikan masukan, serta menilai QRIS dan GPN kurang kompatibel dengan sistem pembayaran internasional.

QRIS, standar kode QR nasional, dan GPN, infrastruktur yang mengintegrasikan sistem pembayaran di Indonesia, memang menjadi andalan transaksi digital. Di tengah pertumbuhan pesat transaksi perbankan digital, pembayaran digital diperkirakan meningkat signifikan pada tahun ini.

Pakar keuangan dari Universitas Airlangga, Rahmat Setiawan, menilai protes AS terhadap QRIS kurang tepat sasaran. Menurutnya, QRIS adalah sistem pembayaran domestik yang tidak terlalu terkait dengan perdagangan internasional. Kekhawatiran sebenarnya terletak pada potensi penurunan keuntungan Visa dan Mastercard jika penggunaan QRIS semakin meluas.

Rahmat menduga protes ini sebagai upaya AS untuk menekan laju QRIS dan menjadikannya alat negosiasi. QRIS dinilai sebagai "alat tegang" bagi AS untuk mempertahankan dominasinya dalam sistem pembayaran. Kemudahan pembuatan QRIS memungkinkan pedagang, terutama UMKM, menawarkan metode pembayaran yang praktis.

Data Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan pengguna dan nilai transaksi QRIS yang fantastis. Puluhan juta pengguna dan jutaan merchant telah memanfaatkan QRIS. Jika QRIS dihentikan, potensi pendapatan yang besar ini bisa beralih ke Visa dan Mastercard, yang mengenakan biaya transaksi antara 1-3 persen.

Kekhawatiran AS semakin besar karena QRIS mulai merambah ke negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Hal ini berpotensi mengurangi ketergantungan regional terhadap sistem pembayaran asing.

Rahmat menyarankan Indonesia untuk tidak terlalu reaktif terhadap tekanan AS. Belajar dari China, respons yang tenang justru lebih efektif. Pemerintah perlu melakukan diplomasi yang cerdas. Jika kerja sama diinginkan, negosiasi yang adil perlu dilakukan.

Skema kerja sama sebenarnya sudah ada, di mana penyedia jasa pembayaran asing harus bermitra dengan perusahaan lokal dengan kepemilikan saham yang dibatasi. Namun, Indonesia perlu berhati-hati dan menghindari sikap yang terlalu keras, karena hal ini bisa memicu serangan yang lebih intensif.

Scroll to Top