Dulu Kalah Tinggi, Remaja Korea Selatan Kini Lebih Unggul: Apa Rahasianya?

Dahulu, anak-anak Jepang kerap kali lebih unggul dalam hal tinggi badan dibandingkan teman-teman sebaya mereka di Korea Selatan. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, terjadi pergeseran menarik. Remaja Korea kini justru tampak lebih menjulang.

Perubahan ini bukanlah kebetulan. Para ahli, termasuk ekonom pangan Hiroshi Mori, menyoroti fenomena ini dan berusaha mencari tahu penyebabnya.

Pergeseran Dominasi Tinggi Badan

Pada era 1960-an, tinggi badan remaja Korea memang berada di bawah remaja Jepang. Namun, mulai dekade 1970-an hingga 1980-an, perbedaan tinggi badan mulai menipis. Puncaknya, sejak awal 1990-an, remaja Korea menunjukkan pertumbuhan fisik yang lebih menonjol.

"Sejak awal 1990-an, tinggi badan mahasiswa baru di Jepang seolah berhenti bertambah," ungkap Hiroshi Mori.

Di tahun 1990, rata-rata tinggi remaja pria Korea sudah 3 cm lebih tinggi dari remaja pria Jepang. Remaja perempuan Korea pun unggul 2,5 cm dibandingkan rekan-rekan mereka di Jepang.

Data menunjukkan bahwa tinggi remaja laki-laki Korea stabil di angka 173,7 cm pada pertengahan 2000-an. Sementara itu, tinggi remaja laki-laki Jepang stagnan di 170,8 cm dan tidak menunjukkan peningkatan signifikan sejak saat itu.

Paradoks Konsumsi Daging dan Susu

Hal yang mengejutkan adalah Jepang, negara dengan konsumsi daging dan susu (sumber protein penting untuk pertumbuhan) yang lebih tinggi, justru tertinggal. Sementara Korea, yang pola makannya lebih didominasi biji-bijian dan sayuran, justru menghasilkan generasi yang lebih tinggi.

Dugaan kuat mengarah pada konsumsi buah dan sayur. Masyarakat Jepang, terutama remaja, mengalami penurunan drastis dalam konsumsi buah dan sayur sejak 1980-an. Fenomena ini dikenal dengan istilah "kumamono-banare," yang menggambarkan menjauhnya remaja Jepang dari kebiasaan makan buah.

Sebaliknya, konsumsi buah dan sayur di Korea justru meningkat pesat. Pada tahun 1965, rata-rata orang Korea mengonsumsi sekitar 82,3 kg buah dan sayur per tahun. Angka ini melonjak menjadi 235,7 kg pada tahun 2000.

Meskipun buah dan sayur bukanlah satu-satunya penentu tinggi badan, rendahnya konsumsi buah dan sayur pada remaja Jepang diduga berdampak negatif pada akumulasi mineral tulang. Studi juga menunjukkan korelasi antara konsumsi jeruk mandarin yang tinggi dengan kepadatan mineral tulang yang lebih baik pada perempuan pasca-menopause.

Genetik dan Faktor Lingkungan

Meskipun faktor genetik berkontribusi 60-80% terhadap tinggi badan, faktor lingkungan, terutama nutrisi, tetap memainkan peran penting. Pola makan sehat dan akses makanan berkualitas membuat anak-anak Korea Selatan tumbuh lebih tinggi dibandingkan anak-anak Korea Utara, yang memiliki keterbatasan akses makanan.

Namun, perbandingan data konsumsi antara Jepang dan Korea tidaklah mudah, karena perbedaan detail data berdasarkan usia.

Masalah Berat Lahir Rendah

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah angka kelahiran bayi dengan berat rendah di Jepang. Jumlah bayi dengan berat lahir di bawah 2,5 kg meningkat dari 5,1% pada 1975 menjadi 9,6% pada 2013. Bayi dengan berat lahir rendah berisiko mengalami hambatan pertumbuhan, termasuk dalam hal tinggi badan saat remaja.

Kesimpulan

Tinggi badan anak dipengaruhi oleh kombinasi faktor, bukan hanya genetik atau pola makan tertentu. Nutrisi seimbang, akses pangan yang baik, dan kondisi kesehatan sejak lahir, semuanya berperan dalam membentuk masa depan pertumbuhan anak. Orang tua perlu memperhatikan asupan sayur dan buah dalam menu harian keluarga.

Scroll to Top