Negara-negara Asia Tenggara kini berada di persimpangan jalan, sebuah realitas yang dipicu oleh perubahan kebijakan ekonomi global. Ketika Amerika Serikat (AS) pertama kali memberlakukan tarif impor terhadap China, banyak perusahaan manufaktur berbondong-bondong pindah ke Vietnam, Kamboja, dan negara tetangga lainnya. Strategi ini, yang dikenal sebagai "China Plus One", bertujuan mengurangi ketergantungan pada China, sejalan dengan visi AS untuk mengurangi hubungan ekonomi dengan Negeri Tirai Bambu.
Namun, langkah selanjutnya dari AS justru berbalik arah. Vietnam, Kamboja, Indonesia, dan Malaysia kini dikenakan tarif tinggi, membalikkan harapan diversifikasi yang sebelumnya didorong oleh Washington. Negara-negara yang tadinya dipandang sebagai alternatif kini dicap sebagai "penghindar tarif".
China melihat ini sebagai peluang. Presiden Xi Jinping memanfaatkan kunjungan regionalnya untuk merayu negara-negara Asia Tenggara agar "bersatu melawan proteksionisme." Ia menjanjikan peningkatan impor dari Indonesia dan memproyeksikan China sebagai "pembela globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas".
Situasi ini menempatkan negara-negara Asia Tenggara dalam posisi yang sulit. Kawasan ini, yang selama ini memainkan peran penyeimbang antara AS dan China, kini condong ke arah China. Kebijakan Trump telah merusak kredibilitas AS, sementara Xi Jinping mendapatkan keuntungan tanpa perlu banyak usaha.
Pertanyaannya sekarang, bisakah China diandalkan? Negara-negara Asia Tenggara membutuhkan investasi dan pasar dari China, tetapi China sendiri menghadapi tantangan domestik dan perlambatan ekonomi.
Ketergantungan Ekonomi yang Kompleks
ASEAN, dengan populasi 680 juta jiwa dan sebagai ekonomi terbesar kelima di dunia, memiliki peran penting dalam rantai pasokan global. Kawasan ini memproduksi semikonduktor, ponsel pintar, dan sepatu olahraga untuk merek-merek ternama. Sejak perang dagang AS-China pertama, ASEAN telah menarik investasi manufaktur global secara signifikan.
China adalah pesaing sekaligus mitra ekonomi bagi negara-negara Asia Tenggara. Antara tahun 2018 dan 2022, perusahaan-perusahaan AS menyumbang sebagian besar investasi manufaktur di ASEAN, jauh melampaui Jepang dan Uni Eropa. Pangsa pasar China tumbuh pesat, meski angka sebenarnya diyakini lebih tinggi karena investasi yang disalurkan melalui Hong Kong.
Tarif baru AS mengancam strategi China Plus One, mendorong negara-negara ASEAN untuk meningkatkan investasi dari China. Namun, tantangan ekonomi yang dihadapi China dapat menghambat ekspektasi ini. Kesulitan yang dialami perusahaan-perusahaan tenaga surya China telah mengurangi investasi luar negeri ke ASEAN, dan masalah serupa mulai muncul di sektor otomotif dan konsumen. Beijing bahkan mungkin akan semakin membatasi investasi asing untuk melindungi lapangan kerja di sektor manufaktur dalam negeri.
Geopolitik yang Membayangi
Selain masalah ekonomi, ketegangan geopolitik tetap menjadi isu laten. Sengketa wilayah di Laut China Selatan, klaim tegas China yang tumpang tindih dengan klaim Vietnam, Filipina, dan Malaysia, terus menjadi faktor krusial. Mobilisasi komunitas etnis Tionghoa di negara-negara ASEAN oleh Beijing juga menimbulkan sensitivitas. Bagi negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia dan Malaysia, perlakuan China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang menjadi poin pertikaian.
Risiko meningkatnya ketegangan di Selat Taiwan dan Laut China Selatan juga menjadi kekhawatiran. Kedua perairan itu merupakan jalur perdagangan penting, dan konflik apa pun dapat mengganggu rantai pasokan global dan berdampak parah pada ekonomi ASEAN.
China menyadari dinamika regional ini. Dalam kunjungannya ke Vietnam, Xi menekankan perjuangan bersama melawan kolonialisme, tetapi menghindari topik sensitif seperti Perang Sino-Vietnam atau sengketa di Laut China Selatan. Pendekatan China terhadap Vietnam relatif lebih akomodatif dibandingkan dengan pendekatan garis kerasnya terhadap Filipina.
Pergeseran Keseimbangan Regional
China dengan tegas menyatakan menentang kesepakatan apa pun yang mengorbankan kepentingannya. Sementara itu, Trump mengatakan bahwa banyak negara telah menghubungi AS untuk memulai negosiasi sejak tarif diumumkan. Ini menciptakan situasi yang menantang bagi banyak negara di Asia Tenggara.
Vietnam, misalnya, tidak dapat mencegah pemerintahan Trump merusak hukum internasional, perdagangan bebas, multilateralisme, dan globalisasi. Negara ini juga harus mencari pasar baru di Timur Tengah dan MERCOSUR. Malaysia relatif diuntungkan karena tingkat tarif yang lebih rendah, menjadikannya tujuan menarik bagi bisnis yang ingin berpindah dari negara-negara dengan tarif lebih tinggi.
Menjaga Keseimbangan yang Rapuh
Vietnam mempraktikkan "diplomasi bambu," tetap teguh pada kepentingan intinya, tetapi lentur ketika menghadapi tekanan dari China dan AS. Pendekatan ini mencerminkan prinsip "non-blok" ASEAN yang telah menjadi dasar diplomasi kawasan ini sejak Perang Dingin.
Namun, tali yang harus mereka pijak kini terasa semakin tipis. Akan tiba saatnya di mana mereka harus berpihak di tengah persaingan kekuatan besar, sebuah hal yang ingin mereka hindari.
Indonesia pun menghadapi tantangan serupa, berusaha mempertahankan sikap netral. Ketergantungan ekonomi yang terus meningkat ke China memperumit situasinya, dengan impor dari China melonjak secara signifikan.
Melampaui Pilihan Biner AS-China
Negara-negara Asia Tenggara semakin melihat melampaui pilihan biner AS-China. Mereka mendiversifikasi kemitraan ekonomi ke arah Eropa dan pasar-pasar lain untuk mengurangi ketergantungan pada salah satu negara adidaya.
ASEAN berusaha untuk menampilkan front persatuan dalam menghadapi tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump, memastikan bahwa suara kolektif ASEAN didengar dengan jelas dan tegas di panggung internasional.