Presiden terpilih, Prabowo Subianto, menggulirkan wacana penghapusan sistem outsourcing yang kontroversial. Janji ini diungkapkan pada peringatan Hari Buruh, memicu harapan di kalangan pekerja, namun juga kekhawatiran di antara pelaku usaha.
Prabowo berencana membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional untuk merumuskan strategi penghapusan sistem ini. Ia menekankan perlunya keseimbangan antara perlindungan pekerja dan menjaga iklim investasi yang kondusif. Investor, menurutnya, adalah kunci penciptaan lapangan kerja.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, bergerak cepat dengan menyusun Peraturan Menteri (Permenaker) sebagai landasan penghapusan outsourcing. Fokusnya adalah mengatasi masalah-masalah yang sering muncul, seperti penempatan pekerja outsourcing pada pekerjaan inti, ketidakpastian status kerja, rendahnya upah, dan kerentanan terhadap PHK.
Namun, rencana ini menuai respons beragam dari kalangan pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menekankan perlunya analisis mendalam dan komprehensif. Mereka mempertanyakan akar masalah outsourcing dan perlunya belajar dari praktik di negara lain, seperti India dan Filipina, yang berhasil memanfaatkan outsourcing untuk pertumbuhan ekonomi. APINDO mengingatkan, penghapusan outsourcing berpotensi memusatkan kegiatan ekonomi dan menghambat pemerataan.
Senada, Kamar Dagang Indonesia (Kadin) menyerukan diskusi komprehensif sebelum mengambil keputusan. Outsourcing, menurut mereka, adalah bagian dari kebutuhan dunia usaha. Kadin juga menyoroti pentingnya melihat masalah ini dari perspektif pekerja dan pengusaha.
Wacana penghapusan outsourcing menjadi isu krusial yang membutuhkan kajian mendalam dan dialog konstruktif antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: aspek mana dari outsourcing yang akan dihapus? Apakah sistemnya, implementasinya, atau sektor usahanya? Jawabannya akan menentukan dampak kebijakan ini terhadap perekonomian Indonesia.