GAZA – Gelombang kemarahan melanda dunia maya setelah laporan serangan pesawat tanpa awak Israel terhadap kapal yang membawa 30 aktivis hak asasi manusia dan bantuan kemanusiaan menuju Jalur Gaza yang terkepung.
Insiden yang terjadi pada Jumat (2/5/2025) tersebut diduga menargetkan generator kapal, menyebabkan kebakaran dan pemadaman listrik saat kapal berada di perairan internasional dekat Malta, demikian pernyataan dari Freedom Flotilla Coalition (FFC).
FFC, sebuah koalisi aktivis non-kekerasan yang mengkampanyekan pengakhiran pengepungan Israel di Gaza, mengorganisir misi kemanusiaan ini. Menurut penyelenggara, operasi ini dilakukan di tengah pembatasan media yang ketat untuk menghindari sabotase Israel terhadap upaya mereka mengirimkan bantuan ke wilayah yang dilanda perang, tempat Israel telah memblokir masuknya makanan, air, bahan bakar, dan obat-obatan selama dua bulan terakhir.
Serangan terhadap kapal Conscience ini memicu kecaman keras secara daring, serta seruan kepada para pemimpin dunia untuk bertindak. Warganet mengecam standar ganda dan kurangnya tindakan nyata, menyebut tindakan tersebut "memuakkan dan tidak dapat dimaafkan."
Berbagai organisasi juga menyuarakan kecaman, menuding Israel melakukan "terorisme negara dalam skala global" dan "mendefinisikan ulang apa artinya menjadi negara nakal." Seorang warga Palestina dari Gaza mengungkapkan kesedihannya, mengetahui betapa berartinya sebuah kapal yang membawa harapan, bukan senjata, justru diserang.
Sejak Israel menghentikan semua bantuan kemanusiaan ke Gaza pada awal Maret, sebagian besar badan bantuan PBB dan internasional telah menghentikan distribusi karena kehabisan persediaan, menyebabkan mayoritas warga Palestina di Gaza mengalami kerawanan pangan dan menghadapi kelaparan. Banyak yang bertahan hidup hanya dengan satu kali makan sehari atau bahkan kurang.
Beberapa pihak berpendapat bahwa serangan ini merupakan sinyal bahwa para pembela hak asasi manusia di seluruh dunia yang membela warga Palestina "tidak aman." Serangan terhadap Flotilla dipandang sebagai serangan terhadap solidaritas kemanusiaan itu sendiri.
Akademisi dan aktivis menambahkan bahwa serangan tersebut sama merupakan kejahatan perang, seperti serangan Israel selama 18 bulan di Jalur Gaza.
Insiden ini membangkitkan kembali kenangan akan serangan Israel terhadap misi Flotilla Kebebasan tahun 2010, di mana tentara Israel menaiki Mavi Marmara dan membunuh sejumlah aktivis. Dunia diingatkan akan tragedi masa lalu dan kekhawatiran bahwa sejarah kelam akan terulang kembali.