Dolar Amerika Serikat, yang selama ini dikenal sebagai aset aman di masa gejolak, kini menghadapi tantangan serius. Di tengah tekanan ekonomi akibat perang dagang, mata uang utama dunia ini mulai ditinggalkan oleh pelaku pasar keuangan.
Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa yen Jepang dan euro Eropa kini menjadi primadona sebagai aset aman. Nilai tukar yen telah melonjak 9,3% terhadap dolar AS sepanjang tahun ini hingga 28 April 2025, sementara euro menguat 9,1%.
Sebaliknya, rupiah mengalami kontraksi hingga 4,5%, dan dolar AS tercatat mengalami penurunan sebesar 8,5%. Mata uang China masih menunjukkan ketahanan dengan penguatan 0,1%.
Tekanan pada dolar AS disebabkan oleh ketidakpastian yang bersumber dari AS sendiri. Perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif tinggi Presiden AS kepada mitra dagang utamanya menjadi salah satu faktor pemicu. Selain itu, perselisihan antara Presiden AS dengan Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) juga menambah keruh suasana.
Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden AS mendorong investor untuk mengalihkan dana ke aset di luar Amerika Serikat, sehingga melemahkan dolar dan memicu kenaikan mata uang lain serta harga emas. Euro, franc Swiss, dan yen masing-masing telah menguat lebih dari 8% terhadap dolar sejak Presiden AS kembali menjabat.
Komentar Presiden AS terhadap Ketua The Fed juga meningkatkan kekhawatiran investor terhadap independensi bank sentral AS. Akibatnya, lembaga keuangan besar memangkas proyeksi dolar, dan memperingatkan adanya tren penurunan struktural untuk dolar dalam beberapa tahun ke depan.
Para trader spekulatif juga meningkatkan taruhan terhadap pelemahan dolar pada bulan April. Data menunjukkan bahwa posisi short terhadap dolar mencapai nilai sekitar $13,9 miliar pada minggu yang berakhir 22 April, tertinggi sejak September sebelumnya.