Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyatakan komitmennya untuk meneruskan program vasektomi bagi pria, termasuk penerima bantuan sosial, meskipun mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat.
Dedi Mulyadi menegaskan bahwa program vasektomi ini bukanlah inisiatif Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melainkan bagian dari program nasional yang dijalankan oleh Kementerian Kependudukan dan Keluarga Berencana. Ia mengklaim telah berkoordinasi dengan menteri terkait dan mendapat penegasan bahwa program tersebut legal.
Penegasan ini disampaikan sebagai tanggapan atas fatwa MUI Jabar yang menyatakan vasektomi haram kecuali dalam kondisi tertentu yang sesuai dengan syariat Islam, seperti adanya ancaman kesehatan serius atau jika prosedur vasektomi bersifat tidak permanen.
Menurut Dedi Mulyadi, permasalahan utama bukan hanya sebatas hukum agama, melainkan realita yang terjadi di masyarakat. Ia seringkali menemui masyarakat miskin yang mengeluhkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup akibat memiliki banyak anak. Bahkan, beberapa orang tua tidak mampu membayar biaya rumah sakit, sementara kesehatan istri terus menurun.
Dedi Mulyadi menekankan pentingnya keseimbangan tanggung jawab dalam program Keluarga Berencana (KB), yang selama ini cenderung membebankan perempuan. Ia berpendapat bahwa pria juga harus berperan aktif dan bertanggung jawab dalam KB.
Menanggapi penolakan dari sebagian masyarakat, Dedi Mulyadi meminta masyarakat untuk tidak mudah percaya pada berita bohong. Ia menegaskan bahwa vasektomi tidak menghilangkan kejantanan pria dan prosedur ini dapat dibalikkan melalui rekanalisasi jika di kemudian hari ingin memiliki anak lagi.
Di tengah kontroversi yang ada, Dedi Mulyadi tetap berpendapat bahwa program KB harus didasarkan pada kesadaran, bukan paksaan. Ia membuka opsi alternatif lain seperti penggunaan alat kontrasepsi pria yang akan difasilitasi oleh pemerintah.
Pernyataan Dedi Mulyadi mengindikasikan keteguhannya dalam mendukung kebijakan pengendalian penduduk, meskipun menghadapi kritik dari kalangan ulama. Tujuan utamanya adalah kesejahteraan masyarakat, terutama kalangan miskin, yang paling merasakan dampak dari beban keluarga besar.