Panda raksasa, maskot dunia yang menggemaskan, menyimpan teka-teki evolusi yang membingungkan para ilmuwan. Secara biologis, tubuh panda lebih menyerupai karnivora daripada herbivora. Sistem pencernaannya tak dilengkapi kemampuan mencerna serat secara efisien, dan bakteri ususnya lebih mahir mengurai protein. Anehnya, panda mampu bertahan hidup dengan melahap hingga 38 kilogram bambu setiap hari.
Perubahan pola makan panda diperkirakan terjadi sekitar tujuh juta tahun lalu. Nenek moyang mereka, yang dulunya omnivora, mulai beralih ke bambu karena sumber makanan lain semakin terbatas. Panda yang beradaptasi dengan diet bambu berhasil bertahan hidup, sementara pemakan daging lainnya terpinggirkan. Ini adalah contoh "survival of the fittest", meskipun tubuh mereka sebenarnya tidak ideal untuk memakan tumbuhan.
Adaptasi panda terhadap bambu melibatkan serangkaian perubahan genetik dan fisiologis. Tubuh panda menjadi lebih lambat, metabolisme menurun, dan kemampuan merasakan umami (rasa daging) menghilang. Mutasi gen pengatur hormon tiroid memperlambat pembakaran energi.
Bambu pun turut berperan dalam evolusi panda. Molekul microRNA dari bambu dapat memengaruhi gen panda, meningkatkan nafsu makan dan mengurangi kepekaan terhadap rasa pahit. Dengan kata lain, bambu secara biologis membantu membentuk tubuh dan perilaku panda agar lebih cocok mengonsumsi tanaman tersebut.
Selain perubahan internal, panda juga mengembangkan adaptasi fisik yang mendukung diet bambu. Mereka memiliki "jempol palsu" dari tulang pergelangan tangan untuk mencengkeram bambu, serta otot rahang yang kuat untuk menghasilkan gigitan yang lebih dahsyat dari beruang kutub. Otot rahang yang kuat ini juga memberikan mereka wajah yang besar.
Kesimpulannya, kemalasan panda bukanlah kekurangan, melainkan strategi adaptif untuk bertahan hidup dengan diet bambu yang rendah energi.