Stop Menyalahkan Orang Miskin: Mengapa Kita Harus Lebih Kritis pada Sistem

Orang miskin seringkali menjadi sasaran empuk, dicap sebagai contoh kegagalan, bahkan dicurigai karena kondisi ekonomi mereka. Label seperti "malas", "bodoh", atau "tidak becus berusaha" kerap kali dilontarkan tanpa mempertimbangkan akar masalah yang sebenarnya. Seolah kemiskinan adalah masalah individu yang bisa diselesaikan hanya dengan motivasi atau kerja keras. Padahal, kemiskinan adalah isu kompleks yang terjalin dalam sistem yang jauh lebih besar dan seringkali tidak terlihat.

Sistem ini membentuk lingkungan di mana seseorang terperangkap dalam lingkaran kemiskinan. Karena sistem bersifat abstrak, emosi kita seringkali dialihkan kepada individu, yaitu orang miskin. Inilah mengapa penting untuk menyadari bahwa kita seharusnya tidak membenci orang miskin, melainkan skeptis terhadap sistem yang menciptakan dan melanggengkan kemiskinan.

Sistem Menciptakan Peluang, Bukan Pilihan untuk Miskin

Banyak orang miskin lahir dalam kondisi yang tidak adil sejak awal. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal seringkali tidak layak. Tidak semua orang memiliki titik awal yang sama. Ini bukan soal siapa yang lebih giat bekerja, tetapi siapa yang lebih beruntung memiliki sistem pendukung.

Jika sistemnya timpang, perjuangan orang miskin terasa seperti mendaki gunung tanpa peralatan yang memadai. Sementara yang lain sudah mencapai puncak, mereka masih mencari pijakan. Menyalahkan orang miskin secara pribadi hanya memperkuat ketidakadilan. Mereka juga manusia yang tidak pernah meminta dilahirkan dalam kondisi tersebut.

Pendidikan Menentukan Nasib, Bukan Sekadar Opsi

Pendidikan sering disebut sebagai jalan keluar dari kemiskinan, tetapi bagaimana jika akses dan kualitasnya berbeda jauh? Sekolah di daerah terpencil kekurangan guru, fasilitasnya rusak, dan buku-bukunya usang. Sementara sekolah elite memiliki jaringan luas, kurikulum lengkap, dan guru-guru terbaik. Orang miskin sudah tertinggal sebelum memulai "perlombaan".

Banyak anak dari keluarga miskin terpaksa putus sekolah bukan karena malas, tetapi karena harus membantu keluarga mencari nafkah. Bahkan, tak jarang mereka harus sekolah sambil bekerja, hingga akhirnya kelelahan dan tertinggal pelajaran. Jika sistem pendidikan masih berat sebelah, menyalahkan mereka yang gagal lulus adalah bentuk ketidakadilan yang halus namun menyakitkan.

Negara Menentukan Aturan, Bukan Individu yang Mengendalikan

Kebijakan publik sangat memengaruhi kehidupan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti orang miskin. Subsidi, jaminan sosial, distribusi lahan, dan akses pekerjaan semuanya ditentukan dari atas. Jika negara lebih berpihak pada pemilik modal besar, yang kecil akan semakin terpuruk. Ini bukan soal kerja keras, tetapi tentang siapa yang dilindungi oleh kebijakan.

Banyak aturan dibuat tanpa melibatkan suara mereka yang terdampak langsung. Orang miskin hanya menjadi angka statistik, bukan subjek kebijakan. Mereka tidak memiliki ruang untuk bersuara, dan ketika protes pun sering dianggap mengganggu. Ketika negara abai, yang tumbuh bukan keadilan, melainkan jurang ketimpangan yang semakin dalam.

Masyarakat Membentuk Narasi, Bukan Fakta yang Digunakan

Opini publik seringkali dibentuk dari cerita yang terus diulang, bukan dari fakta yang jujur. Di media, sinetron, atau obrolan sehari-hari, orang miskin digambarkan sebagai sosok pasrah, kurang usaha, atau selalu membuat masalah. Gambaran ini lama-lama dipercaya sebagai kebenaran, padahal tidak semua orang miskin seperti itu.

Narasi ini membuat orang cepat menghakimi, tanpa bertanya tentang latar belakangnya. Padahal, banyak juga orang miskin yang bekerja siang malam tetapi tetap kesulitan karena upah minim dan biaya hidup tinggi. Ketika narasi sudah keliru sejak awal, semua penilaian menjadi bias, dan ini sangat tidak adil bagi siapa pun yang sedang berjuang.

Kapitalisme Mengendalikan Nilai, Bukan Moralitas yang Menentukan

Kapitalisme modern membuat segalanya diukur dari seberapa banyak uang yang dimiliki. Orang yang punya banyak uang dianggap pintar, rajin, dan layak dihormati, sementara yang miskin dianggap gagal hidup. Sistem ini membentuk standar nilai yang melupakan empati, solidaritas, dan keadilan sosial.

Ketika uang menjadi ukuran moral, orang yang tidak punya dianggap buruk dan hina, padahal mereka hanya kalah dalam sistem yang tidak menguntungkan mereka. Banyak orang baik yang hidup miskin karena menolak korupsi atau terjebak dalam sistem yang curang, tetapi malah dianggap beban masyarakat. Jadi, bukan orang miskin yang harus dibenci, tetapi cara berpikir dan sistem yang membuat kemiskinan terus bertahan.

Membenci orang miskin sama saja dengan menyalahkan korban, bukan pelaku. Selama kita terus menyalahkan individu dan lupa bahwa sistemlah yang lebih besar dan lebih licik, ketidakadilan akan terus menjadi siklus yang tidak pernah putus. Mulailah ubah cara pandang. Orang miskin bukan musuhmu, tetapi korban dari sistem yang tidak adil sejak awal.

Scroll to Top