Selama ribuan tahun, manusia terpukau oleh fosil, jejak kehidupan purba yang membatu. Fosil bukan hanya tulang belulang, namun bisa juga bekas otot, bahkan organ dalam. Pertanyaan besar yang selalu muncul: mengapa hanya sebagian makhluk hidup yang beruntung menjadi fosil, sementara sisanya lenyap tanpa jejak?
Sebuah penelitian mengungkap bahwa komposisi kimiawi tubuh hewan mati berperan penting dalam menentukan apakah jasad tersebut akan terawetkan menjadi fosil atau tidak. Jadi, fosilisasi bukan hanya soal keberuntungan semata.
Tubuh dan Lingkungan Bekerja Sama
Saat hewan mati dan membusuk, proses menjadi fosil bukanlah otomatis. Fosilisasi adalah kejadian langka yang memerlukan kondisi khusus. Selain struktur tubuh yang keras (seperti tulang atau cangkang), komposisi kimia jaringan lunak dan interaksi bangkai dengan lingkungannya juga krusial.
Dua hewan yang mati di tempat dan waktu yang sama, terkubur berdampingan, bisa memiliki nasib yang berbeda. Yang satu menjadi fosil, yang lain menghilang tanpa bekas. Proses fosilisasi sangat selektif; tidak semua makhluk yang mati akan tercatat dalam sejarah bumi.
Protein, Oksigen, dan Pengaturan Diri Bangkai
Salah satu temuan menarik adalah bangkai hewan secara aktif memengaruhi kemungkinan menjadi fosil. Saat jaringan tubuh membusuk, protein dan lipid (lemak) terurai. Protein terurai lebih cepat, menurunkan kadar oksigen di sekitar bangkai. Kondisi anaerob (minim oksigen) ini menghambat pembusukan lanjutan, membuka jalan bagi mineral seperti kalsium fosfat atau pirit untuk "menggantikan" jaringan lunak dengan batu.
Hewan yang lebih besar dan kaya protein cenderung memiliki peluang lebih tinggi menjadi fosil, karena tubuh mereka menciptakan lingkungan kimia yang menguntungkan.
Ukuran dan Kimia Tubuh: Kunci Jejak di Bumi
Perbedaan nasib ini menjelaskan mengapa kita lebih sering menemukan arthropoda seperti trilobita daripada makhluk lunak seperti cacing dalam endapan fosil purba. Meskipun cacing mungkin sangat banyak, tubuh mereka tidak cukup mengubah lingkungan sedimen untuk memungkinkan fosilisasi. Catatan fosil mungkin lebih mencerminkan apa yang bisa diawetkan, bukan apa yang benar-benar hidup saat itu.
Struktur keras membantu, namun kandungan protein dalam jaringan lunak juga sangat penting.
Bukti dari Sedimen: Jejak Kimia yang Berbeda
Eksperimen menunjukkan bahwa dua hewan yang terkubur berdampingan meninggalkan jejak kimia yang berbeda dalam sedimen. Seekor udang dan seekor planaria (cacing pipih) yang mati di tempat yang sama akan menghasilkan kondisi kimia tanah yang berbeda. Salah satunya mungkin mendukung fosilisasi, sementara yang lain tidak. Catatan fosil "berpihak" pada spesies tertentu karena tubuh mereka menciptakan kondisi kimia yang tepat untuk diawetkan.
Implikasi untuk Paleontologi: Yang Tidak Terfossil Juga Penting
Penemuan ini mengubah cara paleontolog membaca masa lalu. Jika ketiadaan fosil bukan berarti hewan itu punah, melainkan hanya tidak terawetkan, interpretasi tentang keanekaragaman zaman purba bisa keliru. Catatan fosil bukanlah sejarah lengkap, melainkan snapshot yang sangat selektif.
Ada banyak makhluk purba—terutama yang bertubuh lunak dan berukuran kecil—yang mungkin pernah hidup melimpah, tetapi kini hilang dari catatan sejarah karena tidak meninggalkan fosil sama sekali.
Komposisi tubuh hewan tampaknya menjadi faktor utama yang "mengatur nasibnya" di masa depan. Penelitian ini membawa kita lebih dekat pada pemahaman tentang bagaimana sejarah kehidupan di Bumi tersimpan dalam batuan—dan mengapa sebagian kisah tidak pernah kita ketahui.